Selasa, 19 Agustus 2008

Menggali Energi Alternatif dari Perairan


Kenaikan harga minyak Bumi telah memberikan inspirasi kepada manusia untuk mencari sumber energi alternatif untuk mempertahankan hidup. Sumber energi yang di identifikasi yang dapat daimanfaatkan oleh kita antara lain: panas Bumi, matahari, angin, gelombang, perbedaan suhu air laut, Konversi biomassa, arang, gambut,dan tenaga air. Sumber energi ini tersedia cukup melimpah dan jika dioptimalkan penggunaannya maka akan dapat mengurangi peran minyak bumi sebagai sumber energi.

Saat ini triliunan rupiah uang dibakar setiap tahun demi subsidi yang angkanya makin lama makin sangat fantastis untuk mengeruk uang APBN. Menurut Dr. Kurtubi, Direktur Center of petroleum and Energy Studies memprediksi Indonesia pada tahun 2010 akan mengimpor 60-70 % kebutuhan BBM atau setara lebih dari 700.000 barel perhari. Artinya dua tahun lagi Indonesia menjadi Negara pengimpor BBM terbesar di Asia. Pada tahun 2008 ini Indonesia diprediksi mengimpor lebih dari 40 persen kebutuhan BBM. Sebagai perbandingan dua negara dengan penduduk terbanyak di dunia yakni China dan India mengimpor BBM hanya di bawah 10 persen kebutuhannya.

Pada saat ini kita hanya memiliki kilang minyak (oil refinery) dengan total kapasitas produksi 1,057 juta barel hanya mampu menghasilkan 700 ribu barel BBM perhari. Dengan kebutuhan BBM 1,2 juta barel perhari sehingga saat ini untuk menutupi kebutuhan dilakukan dengan cara mengimpor BBM dari luar negeri dan jangan heran bila ada antrian pembelian BBM di negeri ini.

Mungkin timbul pertanyaan pada kalangan aktivis Mahasiswa dan LSM, mengapa negeri ini tidak segera membangun kilang baru agar “mandiri BBM” (self sufficient) seperti negara tetangga Malaysia, Thailand, Taiwán, Singapura, Jepang dan Korea Selatan? Negeri ini sudah pesimis membangun kilang baru karena saat ini tidak ekonomis. Biayanya supermahal (2,5-3 miliar dólar AS/kilang). Dan permasalahan lain ádalah Belum terjaminnya pasokan minyak mentah dari negara penghasil minyak mengingat mereka juga menjaga cadangan minyak buminya agar tidak menjadi negara net imported minyak bumi.

Dengan telah diidentifikasinya sumber energi di atas sebenarnya kita tidak perlu panik mengingat negeri ini terletak di khatulistiwa yang cukup disinari matahari sepanjang tahun. Hanya saja yang diperlukan adalah bagaimana kita memanfaatkan sumber energi yang masih tersedia ini.

Negeri ini merupakan negara kepulauan dengan luas perairannya 5,8 juta kilometer persegi. Banyak potensi sumber daya alam dari perairan. Potensi sektor pesisir dan lautan mencakup potensi perikanan tangkap, budi daya ikan laut, budi daya air payau dan Industri bioteknologi kelautan. Dalam sektor energi potensi lautan yang murah hanya dikenal sebagai penghasil migas lepas pantai. Kalau pun ada untuk mengembangkan sumber energi dari lautan butuh biaya yang sangat besar, sarat teknologi dan sarat ilmu. Namun ada yang kita lupa bahwa lautan atau sektor perairan juga berpotensi untuk menghasilkan biofuel.

Selama ini kita menganggap bahwa sumber biofuel hanya terdapat di daratan. Namun melihat perkembangan naiknya harga bahan pangan akibat efek dari pengembangan biofuel alangkah baiknya untuk kembali melirik lautan sebagai sumber biofuel. Dengan luas perairan yang luasnya luar biasa di negeri ini, kita bisa menjadikan perairan menjadi “tambang” biofuel yang luar biasa. Dan potensi itu ada pada algae atau ganggang.

Jika dibandingkan dengan tanaman daratan penghasil biofuel seperti Jarak pagar, Kelapa dan kelapa sawit maka algae jauh lebih unggul. Dari tiap hektar kebun jarak pagar yang diagung-agungkan sebagai penghasil biodisel, dalam setahun hanya menghasilkan 1.500 liter minyak. Ini kalah produktif jika dibandingkan dengan tanaman pesisir yakni kelapa dalam satu tahun mampu menghasilkan minyak 2.200 liter perhektar. Namun produktivitas kelapa akan kalah jika dibandingkan tanaman yang selama ini menjadi primadona propinsi ini yakni Kelapa Sawit. Tanaman kelapa sawit dalam satu tahun mampu menghasilkan minyak 5.800 liter perhektar.

Tapi dalam menghasilkan biofuel tanaman kelapa dan kelapa sawit mengalami kendala yakni harus berhadapan dengan sektor pangan. Mengingat kedua tanaman ini telah menjadi bagian dari sembilan bahan pokok yang dikonsumsi sehari-hari. Jika dilakukan pengembangan biofuel maka akan timbul permasalahan baru yakni krisis bahan pangan. Tanaman jarak pagar belum mampu untuk menutupi kekurangan energi mengingat produktifitasnya kurang jika dibandingkan dengan kelapa dan kelapa sawit dan luas daratan terbatas.

Solusi dari permasalahan ini adalah kembali ke sektor perairan yang selama ini selalu menjadi sektor yang termarjinalkan. Tanaman algae memiliki prospek yang sangat cerah untuk pengembangan energi. Potensi algae sangat produktif untuk menghasilkan biofuel jika dibandingkan dengan tanaman sawit sekalipun. Dari National Renewable Energi Laboratory (NREL) Colarado, Amerika dalam satu hektar tanaman ini mampu menghasilkan minyak 40.000 – 120.000 liter pertahun. Produktivitas algae memang luar biasa artinya dalam satu hektar budidaya algae setara dengan hampir 20 hektar tanaman sawit.

Produktivitas algae dalam menghasilkan biodisel bisa tinggi karena beberapa faktor. Algae efektif dalam mengubah nutrisi dan karbon dioksida (CO2) dari air dengan bantuan sinar matahari sehingga menjadi energi. Dan prosesnya berlangsung sederhana, cepat dan murah. Algae mampu hidup di air laut dan air tawar, sehingga budidaya tanaman ini dapat dilakukan cara terbuka dan ekstensif di perairan laut yang dikelilingi karang, danau, kolam dan kanal. Sehingga mampu membantu masyarakat terutama masyarakat pesisir untuk meningkatkan perekonomiannya.

Untuk memproduksi minyak atau bahan bakar dari algae, algae memiliki kelebihan dibandingkan dengan bahan nabati lain. Kelebihan ini adalah tanaman algae tidak perlu proses penggilingan untuk mengambil minyaknya. Minyak algae bisa langsung diekstrak dengan bantuan zat pelarut, enzim, pengempaan (pemerasan), ekstraksi CO­2, ekstraksi ultrasonik, dan osmotic shock. Tidak seperti bahan nabati lain, panen algae dapat dilakukan secara mudah, murah dan cepat sesuai dengan karakter bangsa ini.

Propinsi Riau sangat berpotensi dalam pengembangan algae untuk biofuel, selain dialiri empat sungai besar propinsi ini juga memiliki potensi pesisir Selat Malaka dari Rokan Hilir hingga Indragiri Hilir. Potensi yang lain yaitu adanya kebijakan dari pemerintah pusat yang menjadikan propinsi ini menjadi Cluster Industry dan pelabuhan biofuel terbesar di dunia. Dan ini merupakan potensi besara untuk menyerap tenaga kerja dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Industri ini tidak hanya menyerap tenaga kerja terdidik dan juga mampu menyerap tenaga kerja rumah tangga yang notabene ”wong ndeso” pesisir yang merupakan nelayan miskin melalui pola kemitraan.

Algae tidak hanya berpotensi menghasilkan biodisel. Komoditas ini juga bisa dijadikan bahan pangan, pakan ternak, industri farmasi, plastik, metanol, guna mengatasi pencemaran lingkungan yang selama ini menjadi momok yang menakutkan bagi pecinta alam. Sayangnya algae yang hebat ini suaranya ”nyaris tak terdengar”, yang gencar dipublikasikan justru komoditas lain. Dan lebih anehnya, Departemen Kelautan dan Perikanan juga belum menyentuh potensi algae yang luar biasa ini. Algae merupakan masa depan pengganti BBM yang potensial. Negeri ini dengan perairan tropisnya yang luas berpotensi memproduksi BBM dari algae ini. Dan ini sekaligus menjadi wahana untuk mensejahterakan nelayan miskin di negeri ini. Sudah saatnya kita ”memandang lautan dan melupakan daratan.” Sebab jika tidak maka seumur hidup kita mengantri berjam-jam hanya untuk mendapatkan BBM.

Tidak ada komentar:

SPIRIT DAKWAH