Minggu, 01 Februari 2009

Belajar dari SahabatKu-Sahabat Saudara/i-ku








al-'Asr

In the name of God, Most Gracious, Most Merciful

By (the Token of) Time (through the ages),
Verily Man is in loss,
Except such as have Faith, and do righteous deeds,
and (join together) in the mutual teaching of Truth,
and of Patience and Constancy.


Translation by Abdullah Yusuf Ali




Usianya sudah amid (pertengahan) 60an. Pertama sekali berjumpa dengannya pada akhir winter di awal spring, di Selatan Canberra, Tepatnya Tuggeranong. Semangatnya untuk belajar Islam mestinya menjadi pelecut semangat bagi kaum muda, apalagi yang punya motto 'aksi kuat-ibadah taat-prestasi hebat'. Di Usia yang sudah senja ini, ia tidak kalah aktif dalam aktifitas keislaman di Canberra dibanding anak muda seusia saya dan anda.

Pada tulisan singkat ini saya ingin selipkan satu pelajaran berharga dari beliau dalam urusan waktu. Saya yakin, banyak diantara kita yang punya perencanaan hidup (dalam konteks waktu) dalam mengisi lembar-lembar kehidupan_tetapi tidak ada salahnya me-review hal-hal yang prinsip dalam hidup ini . Ada yang mengevaluasinya perhari, perminggu atau bulanan. Beliau terbiasa dengan sistem mingguan, karena di Australia rata-rata manajemen waktu di desain secara mingguan, misalnya (kontrak rumah, jadwal kuliah, jadwal kerja_meski bayarnya perjam, dan mutaba'ah (evaluasi) ibadah yaumiyah). Baginya, mutaba'ah ibadah yaumiyah itu penting, karena kita bisa mengukur diri secara jujur dengan melihat grafik waktu yang kita alokasikan bukan yang kita sisakan untuk urusan akhirat (walaupun semua kita semua faham bahwa bagi muslim setiap detik waktunya mestilah dihabiskan dalam rangka ibadah kepada Allah; apa saja aktifitasnya). Tentu saja, evaluasi tersebut beliau maksudkan bukan hanya sebatas quantiti tetapi lebih penting lagi penting lagi adalah qualitinya. Mohon do'a agar beliau tetap konsisten.

Saya mengajak diri sendiri dan saudara sekalian untuk menjaga waktu-waktu hidup kita, karena 'waktu adalah kehidupan' (H. Al banna). Rencanakan waktu kita secara mingguan dan harian untuk jangka pendek dengan tetap melakukan evaluasi; hari akan terasa sangat singkat dan kita pun akan termotivasi untuk memelihara dan memanfaatkannya sebaik-baik mungkin. Kemudian, tetap rencanakan agenda-agenda bulanan dan tahunan utk jangka menengah. Serta lengkapi perencanaan jangka panjang (bisa jadi 20-50 tahun kedepan) dengan berbagai alternatif pilihan, sebab Allah saja yang tahu apa yang akan terjadi satu detik kedepan. Tetaplah mengutamakan keseimbangan dunia-akhirat dengan menempatkan logika akhirat di atas dunia; letakkan dunia ditangan, tempatkan akhirat dihati. Allahu'alam...


Sabtu, 03 Januari 2009

End The Siege of Gaza NOW


I just walking around in Albert House, near to Hyatt Hotel and Australian Parliament house on Saturday Community Gathering. Once my eyes stuck on a display which held by Aussies who did fund raising for Palestinian in Gaza. They were really enthusiast about this issue by telling everybody near their display about Israeli's Siege on Gaza Strip. Distributing CDs, Books, Pamphlets and Selling Palestine's T-Shirt were being run by them in order to raise the money. People flocked on the display to get the stuffs or only want to know anything about Gaza Strip condition under Israel Invasion.
May Allah Reinforce Muslim brothers in Gaza Strip.

Jumat, 26 Desember 2008

Ummi..

Waktu kamu berumuran 1 tahun , dia menyuapi dan memandikanmu ... sebagai balasannya ... kau menangis sepanjang malam.
Waktu kamu berumur 2 tahun , dia mengajarimu bagaimana cara berjalan ..
sebagai balasannya .... kamu kabur waktu dia memanggilmu

Waktu kamu berumur 3 tahun, dia memasak semua makananmu dengan kasih sayang .. sebagai balasannya ..... kamu buang piring berisi makananmu ke lantai
Waktu kamu berumur 4 tahun, dia memberimu pensil warna ... sebagai balasannya .. kamu corat coret tembok rumah dan meja makan
Waktu kamu berumur 5 tahun, dia membelikanmu baju-baju mahal dan indah..sebagai balasannya ... kamu memakainya bermain di kubangan lumpur
Waktu berumur 6 tahun, dia mengantarmu pergi ke sekolah ... sebagai
balasannya ... kamu berteriak 'NGGAK MAU ..!'

Waktu berumur 7 tahun, dia membelikanmu bola ... sebagai balasannya .kamu melemparkan bola ke jendela tetangga
Waktu berumur 8 tahun,
dia memberimu es krim ... sebagai balasannya...kamu tumpahkan dan mengotori seluruh bajumu

Waktu kamu berumur 9 tahun , dia membayar mahal untuk kursus-kursusmu .sebagai balasannya .... kamu sering bolos dan sama sekali nggak mau belajar


Waktu kamu berumur 10 tahun,
dia mengantarmu kemana saja, dari kolam renang sampai pesta ulang tahun .. sebagai balasannya .... kamu melompat
keluar
mobil tanpa memberi salam
Waktu kamu berumur 11 tahun, dia mengantar kamu dan temen-temen kamu ketempat hiburan .. sebagai balasannya ... kamu tinggalkan ia sampai kebingungan menunggu...
Waktu kamu berumur 12 tahun, dia melarangmu melihat acara tv khusus untuk orang dewasa ... sebagai balasannya .... kamu tunggu sampai dia keluar rumah
Waktu kamu berumur 13 tahun, dia menyarankanmu untuk memotong rambut karena sudah waktunya .sebagai balasannya.. kamu bilang dia tidak tahu mode
Waktu kamu berumur 14 tahun, dia membayar biaya untuk kemahmu selama liburan .. sebagai balasannya .... kamu nggak pernah menelponnya
Waktu kamu berumur 15 tahun, pulang kerja dia ingin memelukmu ...
sebagai balasannya ..... kamu kunci pintu kamarmu

Waktu kamu berumur 16 tahun, dia mengajari kamu mengemudi mobil ....sebagai balasannya .... kamu pakai mobilnya setiap ada kesempatan tanpa
mempedulikan kepentingannya


Waktu kamu berumur 17 tahun, dia sedang menunggu telpon yang penting ... sebagai balasannya .... kamu pakai telpon nonstop semalaman,
waktu kamu berumur 18 tahun, dia menangis terharu ketika kamu lulus SMA.. sebagai balasannya .... kamu berpesta dengan teman-temanmu sampai pagi

Waktu kamu berumur 19 tahun,
dia membayar semua ku lia hmu dan mengantarmu

ke kampus pada hari pertama ..... sebagai balasannya .... kamu minta
diturunkan jauh dari pintu gerbang biar nggak malu sama temen-temen

Waktu kamu berumur 20 tahun, dia bertanya 'Darimana saja seharian ini?'.. sebagai balasannya ... kamu menjawab 'Ah,
cerewet amat sih, pengen tahu urusan orang.'
Waktu kamu berumur 21 tahun, dia menyarankanmu satu pekerjaan bagus untuk karier masa depanmu ... sebagai balasannya .... kamu bilang 'Aku nggak mau
seperti kamu.'


Waktu kamu berumur 22 tahun,

dia memelukmu dan haru waktu kamu lulus
perguruan tinggi .. sebagai balasanmu ... kamu nanya kapan kamu bisa main ke luar negeri


Waktu kamu berumur 23 tahun,

dia membelikanmu 1 set furniture untuk rumah
barumu ... sebagai balasannya ... kamu ceritain ke temanmu betapa jeleknya furniture itu


Waktu kamu berumur 24 tahun,

dia bertemu dengan tunanganmu dan bertanya
tentang rencana di masa depan ... sebagai balasannya ... kamu mengeluh
'Aduh gimana sih kok bertanya seperti itu.'


Waktu kamu berumur 25 tahun,

dia membantumu membiayai pernikahanmu ..
sebagai balasannya ... kamu pindah ke kota lain yang jaraknya lebih dari 500 km.


Waktu kamu berumur 30 tahun,

dia memberimu nasehat bagaimana merawat
bayimu ... sebagai balasannya .... kamu katakan 'Sekarang jamannya sudah beda.'


Waktu kamu berumur 40 tahun
, dia menelponmu untuk memberitahu pesta salah
satu saudara dekatmu ... sebagai balasannya kamu jawab 'Aku sibuk sekali,
nggak ada waktu.'


Waktu kamu berumur 50 tahun,
dia sakit-sakitan sehingga memerlukan perawatanmu ... sebagai balasannya .... kamu baca tentang pengaruh negatif orang tua yang numpang tinggal di rumah anaknya

dan hingga SUATU HARI, dia meninggal dengan tenang ... dan tiba-tiba kamu
teringat semua yang belum pernah kamu lakukan, ... dan itu menghantam
HATIMU bagaikan pukulan godam

MAKA ...
JIKA ORANGTUAMU MASIH ADA ... BERIKANLAH KASIH SAYANG DAN PERHATIAN LEBIH DARI YANG PERNAH KAMU BERIKAN SELAMA INI
JIKA ORANG TUAMU SUDAH TIADA .... INGATLAH KASIH SAYANG DAN CINTANYA YANG TELAH DIBERIKANNYA DENGAN TULUS TANPA SYARAT KEPADAMU




Ini adalah mengenai Nilai kasih Ibu dari Seorang anak
yang mendapatkan ibunya sedang sibuk menyediakan makan malam di dapur.

Kemudian dia menghulurkan sekeping kertas yang
bertulis sesuatu. si ibu segera membersihkan tangan dan lalu menerima
kertas yang dihulurkan oleh si anak dan membacanya.

OngKos upah membantu ibu:
1) Membantu Pergi Ke Warung: Rp20.000
2) Menjaga adik Rp20.000
3) Membuang sampah Rp5.000
4) Membereskan Tempat Tidur Rp10.000
5) menyiram bunga Rp15.000
6) Menyapu Halaman Rp15.000
Jumlah : Rp85.000


Selesai membaca, si ibu tersenyum memandang si anak
yang raut mukanya berbinar-binar.

Si ibu mengambil pena dan menulis
sesuatu dibelakang kertas yang sama.

1) OngKos mengandungmu selama 9bulan -
GRATIS
2) OngKos berjaga malam karena menjagamu -
GRATIS
3) OngKos air mata yang menetes karenamu -
GRATIS
4) OngKos Khawatir kerana selalu memikirkan keadaanmu
- GRATIS

5) OngKos menyediakan makan minum, pakaian dan keperluanmu - GRATIS
6) OngKos mencuci pakaian, gelas, piring dan keperluanmu -
GRATIS
Jumlah Keseluruhan Nilai Kasihku - GRATIS

Air mata si anak berlinang setelah membaca. Si anak
menatap wajah ibu, memeluknya dan berkata, 'Saya Sayang Ibu'.Kemudian si
anak mengambil pena dan menulis sesuatu didepan surat yang
ditulisnya: 'Telah Dibayar' .

Jika kamu menyayangi ibumu,'FORWARD' lah
Email ini kepada sahabat-sahabat anda.

1 orang :Kamu tidak sayang ibumu
2-4 orang :Kamu sayang ibumu
5-9 orang :Bagus! Ternyata Kamu Sayang juga Kepada
Ibumu
10/lebih : Waahhhh.......Kamu akan disayangi Ibumu
dan juga semua orang...


APAKAH KAMU SAYANG ORANGTUAMU????

KARENA ORANGTUAMU SELALU MENYAYANGIMU.

Mother is the best super hero in the world.

Senin, 22 Desember 2008

Memahami Kutukan Sumber Daya Alam


Afrizal*

Tahun 2008 mencatatkan hal-hal yang penting di sektor energi dan produk komoditas berbasis energi, pertama rekor harga minyak mentah mencetak harga tertinggi dalam sejarah di pasar Nymex (New York Mercantile Exchange) pada bulan juli yakni US$ 149 per barrel, kedua meroketnya harga CPO di Pasar Rotterdam yang berimbas naiknya harga minyak goreng. Di tengah meroketnya harga komoditas tersebut berimbas pada pola konsumsi di negeri ini, masyaraakat yang menikmati kenaikan harga komoditas sawit yang merupakan bahan baku untuk CPO cenderung lebih konsumtif. Sementara masyarakat yang umumnya diperkotaan mengalami penderitaan karena kenaikan hrga barang akibat kenaikan harga BBM dan bahan pokok. Namun cerita kembali berubah akibat ambruknya lambang supremasi kapitalisme dunia dua bulan setelah menikmati “Oil Bonanza” yakni krisis keuangan di Amerika Serikat pada pertengahan September akibat bangkrutnya perusahaan investasi Lehmans Brothers. Dampak yang dihasilkannya semua komoditas di seluruh Dunia terutama di sektor energi terjun bebas. Harga minyak mentah perlahan-lahan turun hingga US$ 48,85 per barel (www.bloomberg.com), selanjutnya harga CPO jatuh bebas hingga harga TBS di tingkat petani tinggal pada kisaran Rp 100 – 300 per kilogram. Akibat penurunan harga minyak mentah maka banyak negara tergabung dalam G-7 mengalami krisis keuangan.

Minyak bumi selama beberapa dekade telah memegang peranan penting dalam pembangunan di setiap negara. Bahkan Indonesia meskipun menjadi negara pengimpor minyak masih juga mengandalkan ekspor minyak bumi. Minyak bumi Indonesia merupakan yang terbaik sehingga meskipun mengimpor minyak Indonesia masih surplus pendapatan di bidang perminyakan. Hubungan minyak bumi dengan komoditas lain karena sektor perminyakan masih di andalkan di bidang transportasi komoditas yang lain. Tanpa minyak bumi bisa dikatakan ekonomi negara akan lumpuh. Dampak negatif ini kemudian disebut “Kutukan Sumber daya alam”.


Secara sederhana, kutukan sumber daya alam mengacu pada hubungan terbalik antara ketergantungan yang besar terhadap sumber daya alam dan tingkat pertumbuhan ekonomi. Sejumlah studi mutakhir menunjukkan bahwa performa ekonomi negara-negara berkembang yang kaya sumber daya alamnya lebih buruk ketimbang negara berkembang lain yang memiliki lebih sedikit sumber daya alam. Misalnya antara indonesia dengan Brazil, India, Malaysia, Thailand dan Vietnam. Negara yang bergantung pada ekspor sumber daya alam saat ini selalu di kaitkan dengan pertumbuhan ekonomi yang lambat. Negara yang hanya mengandalkan pendapatan dari ekspor komoditas tidak hanya lebih buruk dari negara yang sedikit sumber daya alam tapi jauh lebih buruk dari apa seharusnya yang di dapatkan.


Kutukan minyak bumi

Pengalaman selama empat dekade menunjukkan bahwa ekspor minyak menjadikan perekonomian negara menjadi lebih baik, harapan ini muncul tatkala awal soeharto memerintah dahulu. Ternyata saat ini harapan menjadi harapan meskipun negara telah menggenjot sektor non migas tetapi tetap juga bergantung pada si “emas hitam” ini. Harapan ini semakin sulit di wujudkan karena banyak hambatan di bidang ini. Bahkan bisa dikatakan sektor ini rawan konflik hal ini bisa kita saksikan dari Saudi hingga Venezuela.


Negara-negara pengekspor minyak lebih pantas disebut menderita “paradox of plenty”, “Problem Raja Midas” atau apa yang disebut Juan Pablo Perez Alfonso, Pendiri organisasi negara pengkspor minyak (OPEC), sebagai “Efek kotoran setan”. Kenyataannya memang memprihatinkan: negara yang mengandalkan pendapatan dari minyak bermasalah secara ekonomi, rawan korupsi dan penuh konflik. Tak heran bila negara-negara ini termasuk dalam nomor wahid dalam daftar negara korup seperti: Nigeria, Angola, Azerbaijan, Kongo, Kamerun dan Indonesia yang bersaing secara ketat dari tahun ke tahun dalam rangking TI (Transparency International). Mengenai performa memburuk di bidang ekonomi ini beragam dan masih diperdebatkan, tapi kombinasi dari berbagai faktor menyebabkan negara pengekspor minyak mengalami kegagalan kebijakan dan merosotnya pertumbuhan. Faktor-faktor ini antara lain:

  1. Ketidakstabilan Harga Minyak. Harga minyak yang tidak stabil dan akibatnya perputaran ekonomi yang sesaat booming dan turun lagi, mempersulit pengambilan keputusan untuk mengelola secara efektif. Ketidakstabilan harga berdampak negatif terhadap disiplin anggaran, pengawasan terhadap keuangan publik dan upaya perencanan negara.
  2. Dutch Disease. Negara-negara yang bergantung pada ekspor minyak sering mengalami apa yang disebut dengan Dutch Disease. Suatu fenomena yang terjadi saat sektor minyak meningkatkan nilai mata uang lokal dan menyebabkan sektor ekspor lainnya tidak kompetitif, fenomena ini terjadi dari Zaman Soeharto hingga Megawati. Dampak dari sektor ini, sektor minyak menekan sektor lain yang lebih menjanjikan khususnya sektor agrikultural dan manufaktur. Karena sektor ini tergantung pada dana minyak, ketergantungan makin bertambah sehingga dari waktu ke waktu mengurangi daya saing bangsa secara permanen.
  3. Tidak Ada Akumulasi Keterampilan. Industri minyak menciptakan sedikit lapangan kerja, keahlian jenis ini umumnya tidak sesuai dengan tenaga kerja yang dihasilkan atau tersedia di negara dan wilayah produsen minyak. Akibatnya tenaga ahli harus ditraining dulu untuk mendapatkan keahliannya atau mendatangkan tenaga kerja asing. Ini berarti merampas keuntungan besar dari ekspor minyak dan melupakan learning by doing yang merupakan inti pembangunan ekonomi.

Dengan faktor-faktor di atas wajar bila negara yang sedikit seumber daya alamnya lebih maju dibanding negara kaya sumber daya alamnya dimana kebutuhan akan pendidikan mereka sangat tinggi, khususnya pada sektor manufaktur, agrikultural dan piranti lunak. Dengan akumulasi keahliannya meningkat lebih cepat sehingga ketimpangan kemakmuran lebih kecil. Pertumbuhan ekonomi mereka saat ini meningkat karena produktivitas meningkat bukan hanya semata karena penjualan minyak. Dengan adanya ketergantungan pada minyak sangat besar maka akan melemahkan permintaan terhadap ilmu pengetahuan yang merupakan inti pertumbuhan ekonomi pada abad 21 ini.


Kutukan Kelapa Sawit.

Selain minyak bumi, sumber daya alam yang menjadi andalan di negeri ini adalah kelapa sawit dengan produk intermediatnya berupa CPO dan KPO dan berbagai produk turunannya seperti biodiesel, minyak goreng dan lain-lain. Umumnya pasar yang dituju untuk produk indsutri sawit ini adalah negara-negara di Eropa dan Amerika Serikat. Ketika isu bioenergi menjadi booming dan tingginya harga minyak bumi, Permintaan produk ini meningkat pesat. Bahkan menjadi primadona di tiga negara besar penghasil sawit yakni Indonesia, Malaysia dan Thailand yang menguasai 90 persen dunia. Di setiap tempat sawit menjadi primadona yang di puja-puja. Bahkan tiada hari tanpa kata “kebun sawit” di setiap mulut masyarakat.

Tingginya permintaan akan bahan bioenergi tentu akan meningkatkan harga sawit. Namun harus dipahami meskipun sawit penghasil minyak nabati yang besar, tidak hanya tanaman sawit yang menghasilkan minyak nabati. Banyak tanaman lain yang mampu menghasilkan minyak nabati seperti kedelai dan biji bunga matahari yang mampu tumbuh di daerah Sub Tropis seperti Australia, Eropa dan Amerika. Dengan tingginya harga minyak sawit dan adanya panen kedelai dan bunga matahari, di tambah krisis yang mendera negara-negara konsumen minyak sawit. Maka mereka mengubah arah dengan membeli dan melindungi produk dalam negerinya dari serbuan minyak sawit. Akibatnya harga sawit menjadi jatuh total karena tujuan ekspor utama minyak sawit adalah negara-negara Eropa dan Amerika demi mengharapkan Dollar dan Euro. Sementara itu 2 negara dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi dan penduduk terpadat di dunia yakni China dan India potensi pasarnya belum dilirik sama sekali.


Ketergantungan yang berlebihan pada ekspor berbasis Sumber daya alam sangat terkait dengan institusi publik yang lemah, yang umumnya tidak mampu menghadapi tantangan pembangunan. Dampak lanjutannya jika institusi dibentuk negara secara sepihak maka akan cenderung menciptakan negara rente-hidup dari keuntungan sumber daya alam. Dalam negara rente, pengaruh ekonomi dan kekuatan politik akan terkonsentrasi, garis batas antara publik dan privat tidak jelas. Pemerintah akan tetap memegang kekuasaannya dengan membagi-bagikan pendapatan kekayaan alam untuk dirinya sendiri dan pendukung-pendukungnya melalui berbagai kebijakan seperti subsidi, proteksi, penciptaan lapangan kerja dan belanja yang berlebihan dengan berbagai pemborosan lainnya.


Negara yang sedikit sumber daya alamnya tekanan dari kelangkaan dari sumber daya alam tidak memberikan toleransi terhadap pemborosan dan pencurian. Perekonomiannya tidak mendukung proteksi terhadap kalangan tertentu dan lebih cenderung ke pengembangan sumber daya manusia atau Knowledge Economic Based. Tapi di negara yang mengandalkan sumber daya alam kekayaan alamnya cenderung melemahkan lembaga-lembaga yang mengendalikannya. Akibatnya Negara terlihat kuat namun kosong. Tidak heran bila kekayaan sumber daya alam lebih menciptakan bangsa buruh dan pesuruh dari pada bangsa terdidik, akibatnya kekayaan alam hanya menyimpan potensi konflik. Potensi konflik di negara miskin sumber daya alam lebih kecil terjadi dari pada negara yang kaya sumber daya alam, dan ini tentu saja menjadi kutukan sumber daya alam...

Afrizal adalah aktivis Forum Anggota Muda Persatuan Insinyur Indonesia (FAM-PII) wilayah Riau”

Minggu, 14 Desember 2008

Herbicide Tolerant Soybean: Just Another Step In A Technology Treadmill?

The article “Herbicide Tolerant Soybean: Just Another Step In A Technology Treadmill?”, written by Volker Lehman and Walter A Pengue, Biotechnology and Development Monitor (No.43 December 2000, p.11-14) it mainly discusses the effect of transgenic soybean in Argentine’s economy. It seemed that both the farmers and the country statistic got large amount of benefit by investing in transgenic soybean technology, however, this is supposed to be worried in long-term negative effect on economic, social and ecological system. Even though there is no serious damage which has been found, but it probably can not be forecast by current knowledge and the worry mounts that the effect can be cumulative and cascade in the future

Argentina earned US$ 25 billion from the soybean and its derivatives export which could mean that 20 percent of the total export. The country had supplied one third of the world demand on soybean grain, in fact it produced only 10 percent of the total world production. This successive portrait had been caused by not only because the benign climate and the fertile soil that gave comparative advantages, but also increased of grains prices since 1980s. The production of soybean grains had increased sharply, so there was possibility to harvest three times in two years. At the end of hyperinflation in 1991, both the problem of the domestic currency fixation towards US Dollar and the declined in export volume have urged Argentine to invest in the new technology.

Unfortunately the intensification of the soil utilisation had declined the fertility and forced the addition of fertilizers from 0.3 million to 2.5 million tones in the period of 1990 to 1999. Trying to combat this problem, it was introduced “no-tillage, a new sowing technology”. By using this technology, it should be accompanied by herbicide which is named as herbicide tolerant soybean to support the massive production. There were two main reasons which tempted the using of this transgenic soybean, that were the lower price of herbicide and fewer expenses on labour, fuel and machinery.

“The Comision Nacional Asesora de Biotechnogia, (National Advisory on Agricultural and Technology, CONABIA)” had assessed the environmental risk and there was not any significant differences between the conventional cultivation and Round Up Ready (RR) in term of competitiveness, outcrossing, weediness and harm to other organisms. The soybean is weak without cultivation to compete with the weeds, so it need the glyphosate (a kind of herbicide) to eradicate them. However, there are worries about the usage of herbicide which can cause damage in social, economic and ecological sector in long-term effect. Although there is no significant damage which has been discovered, but it may be cumulative series of problem that can not be predicted through current knowledge.

The worry of public has mounted towards the Genetically Modified Organisms (GMOs) in recent years. The European Union has warned the people to be aware of GMOs and and the companies such as Tesco (UK) and Carrefour (France) have banned the GMOs to be contained in their assortments. To avoid the GMOs from the country such Argentine, The European Union finds another alternative grains exporter such as Brazil which does not use transgenic technology to produce the soybean. This signal can be serious threat to Argentine’s economy which depends on export. There are three consequences in social and economic sector by using herbicide tolerant on transgenic soybean, as follow:
Dependence on import. Argentine had to import fertilizers and herbicides to get large amount of production or at least to maintain the export rate.
Declining profit margin. The price of soybean had decreased 28% when at the same time the price of gasoline as the key ingredient for production had soared to 26%. The farmers could not afford to pay the bank credit which could disturb the process of production and influence the export activity.
Concentration of holding. The concentration of holding had increased since 1992 to 1997, it dominated 50% acreage of the main land production for soybean.

The homogenization of crops production caused the small-scale farmers could not maintain their competition. The diversification commodities of the global market and non-transgenic production either for export or internal need may be an alternative choice for them. In this case, the Government should play important role to subsidise them. It was written that, finally the buyer would decide what to purchase. It is inevitable to diagnose the effect of mono production on environment and human health in long term effect to anticipate the cumulative risks.

The explanation of this topic is clear for academic sphere and it has been well academically written. However, if this academic writing is also supposed to be read by general audience, it is not easy for them because there are some terminologies which are unfamiliar and it should be explained with different words that put in the bracket. The common readers probably have to read this article more than two times to understand what the writers want to deliver. The focus is quite good by focusing on specific topic, started from agricultural, genetically modified organism, transgenic technology, herbicide tolerant and finally the particular example, that is herbicide tolerant on soybean grains. However the focus is narrow down when the writers rely on one country (Argentine) as an example of general title. There should be more examples, either the countries or companies which allow the transgenic product or those who worry or even ban this product to be sold in their assortments.

In some description, it is quite fit the audience. This bases on the logic which is shown, such an example when the writer explained the background that contain Argentine’s agricultural short history, the adoption of transgenic and herbicide, consequences in social, economic and ecological and offered alternative solutions. However, the rhetoric of these logics have not been organized very well. We can find how the writers separated some ideas which should be written subsequently, such as the social and economic consequences would better be followed by ecological effect rather than the public responded to the GMOs. So, the readers will be easier to catch the writers ideas.

Definitions are written quite clear, but it would be better if this article is supposed to be read by small scale farmers or common people. Instead of using completely academic terminologies, the writers can add more explanation about the definition. The classification also had been made as well as the the comparison and the analysis, however, it should be simplify with series writing style rather than the random one. It seems that the writers used the four sources appropriately, effectively and sufficiently. We can argue about this because all of the sources seem to be written academically. They might be journals or books because there are some signals that reinforce this statement, such as the use of “(Factor Economico, No. 22, January/February pp. 86-94) and (Weed Science, No.47, pp.405-411)”.

To conclude this article, the writers reminded us that people in some part of the world has started to worry about the transgenic and herbicide tolerant usage in agricultural. Although it is indisputable that the mono production in staple sector, such as in Argentine had increased the country economic growth, but for long term effect there are some possible negative effects. It is not only in social and economic aspect, but also ecological which might be unpredicted by current knowledge. A serious effort should be done to analyse the effects and there should be alternative solutions toward this problem. Then, the writers should expand more examples. The examples are very important to support the main idea and to attain a comprehensive conclusion about an argument. It is also good idea if this article was written systematically.

Source: http://www.biotech-monitor.nl/4305.htm. “Herbicide Tolerant Soybean: Just another step in Technology Treadmill?”. By: Lehman, Volker and Pengue, Walter A, Biotechnology and Development Monitor (No.43 December 2000, p.11-14).

Food Security: Australian Approach, by Alfajri

According to the article “Australian Aid: Approach to Food Security” released by Australian Government AusAID is mainly states the fact of the food insecurity in developing countries, particularly in Asia Pacific Region and how Australia assists these countries to overcome the problems. Australia believes that food problems can be solved by conducting self-reliance, not self-sufficiency approach.

An estimation by the The United Nations Food and Agriculture Organisation (FAO) that 843 million people who live in transition and developing countries face famine problem. There are five million of children passed away each year as the effect of malnutrition and hunger, “20 million babies are born with low birth weight”, in the developing countries. Also, it was reported that half of the people who are world undernourished derive from farming communities which are smallholder owner, 20 percent live in landless rural area, 10 percent who depends their life on fishing, forest resources and herding. 20 percent rest are those who dwell in the city.

The vulnerable group, includes women, children under five, infirm, old and and the sick have become the target of hunger problems. The data showed that 70 percent of the total world undernourished are girls and women.

“When people do not have physical and economic access to nutritious, safe and sufficient food”, the food insecurity problems will be mounted. Once this condition happen, the conflict will follow to destabilise the social life. A lot of arm conflict occur in the area where the food supply is shorten.

Food safety is also crucial issue in food security because the contaminated food and water will cause health problems. If this issue is not solved in well organized manners, the chronic disease will be soared.

Australia as one of developed countries is willing to help the developing countries to release the food insecurity problems. That is why Australia offered food security approach which “based on self-reliance, not self-sufficiency”. This approach combines the important of domestic production and international trade. By conducting this approach into an effective policy, Australia endorse the developing countries “to increase the domestic production, strengthen the internal markets, support the infrastructure and undertake the domestic reform”. If this endorsement is succeed, the Australia has assisted these countries to achieve the international trade reform.

Supporting the implementation of policies and practices in developing countries is being done by Australia as well; as other main component of its’ approach. These policies include rural development promotion, sustainable agriculture, forestry and fishery production, and natural resource management. It also help to increase food safety, and export quality and increase women access to technology, natural resources, agricultural credit and information.

Research has the ultimate point and priority for Australia in delivering the aid. Australian Government through AusAID has helped Southern Philippines, Tonga, Samoa, Indonesia, Papua New Guinea to manage the food security not only by research assistant but also improve the living standard, social capital, stewardship, enhance the income earning opportunities, increase the food sustainability and efficiency. The aid also has been given to Lao People’s of Democratic Republic, Samoa, Zambia, Bangladesh. In Zambia, Australia support to improve food diversification crops while in Bangladesh the aid is targeted to help “extremely poor women”. Through the experience, it was found that the aid which was given to women are much more effective and they can fulfill the need of children compare to men.

Samoa has been guided to fight against the leaf blight to boost the taro production. The taro production were destroyed by the leaf blight in 1993. In 2001, the Australia assistance program has been completed and the program also build the Regional Germplasm Centre which enable the inhabitant to select varieties of taro that resist against the leaf blight. Australia also helped ASEAN member countries to support the reference laboratory which is located in Thailand. Through this laboratory the ASEAN countries will be able to monitor the region’s viruses active, exchange information on outbreaks, diagnose the outbreaks, monitor the vaccination programs, provide training and conduct project.

In the conclusion, Australian Government through the AusAID, emphasizes that the “food security can be manage for long term if the management of natural resources conducted effectively”. This also means that self-reliance approach is needed, that is both strengthen of domestic management and international trade are recognised.


Source: www.ausaid.gov.au.

Japan's Food Security, by Alfajri

An article “Japan’s Food Security”, taken from internet(27.2.2008) by “Malcolm Cook of The Lowy Institute for International Policy in Australia” mainly discusses how Japan is to deal with agricultural liberalization as opposed to the the protectionism policy. Japan faces a demographic problem, both the decline of population in rural areas where farmers are born and rapid aging has changed Japan’s approach to food policy. Even though Japan is open to free trade, but there is a strategic plan for self-sufficiency by 2015 when any 45 percent of the total ratio of food consumption will be produced by local farmers.

Japan’s policy to protect the agricultural sector, especially on food security, based on opinion that food is the same important as military, so Japan should not rely on other country. The government through The Ministry of Agricultural Forestry and Fisheries has organized the farmers politically.This policy has been taken to fulfill the farmers interest who have great power in the election poll, because “agricultural villages exist in many of 29 single-seat constituencies with election races”

Ironically, now Japan tries to liberalize the agricultural sector by opening the free trade policy as the impact of demographic obstacle. As an example, Japan has signed a bilateral agreement with Australia which is called as “economic partnership agreement” (EPA). This policy worries the Japanese because Japan allows the large number of foreign product in agricultural sector to penetrate the domestic market.

To protect the local farmers and relief the Japanese worries, the government provide 430 billion Yen in offset for prices differences between Japanese and Australian product. Critics come from the opposition, Democratic Party of Japan (DPJ) and it proposed to the government to provide full subsidy for the local farmers rather than relied on import. The government responded to that the opposition try to scatter the money because the government is not completely rely on import.

Therefore, the government made a provision to introduce a new subsidy policy for local farmers. By implementing this agenda, it is expected to increase the amount of production and attain 45 percent of the total consumption by 2015.

SPIRIT DAKWAH