Senin, 22 Desember 2008

Memahami Kutukan Sumber Daya Alam


Afrizal*

Tahun 2008 mencatatkan hal-hal yang penting di sektor energi dan produk komoditas berbasis energi, pertama rekor harga minyak mentah mencetak harga tertinggi dalam sejarah di pasar Nymex (New York Mercantile Exchange) pada bulan juli yakni US$ 149 per barrel, kedua meroketnya harga CPO di Pasar Rotterdam yang berimbas naiknya harga minyak goreng. Di tengah meroketnya harga komoditas tersebut berimbas pada pola konsumsi di negeri ini, masyaraakat yang menikmati kenaikan harga komoditas sawit yang merupakan bahan baku untuk CPO cenderung lebih konsumtif. Sementara masyarakat yang umumnya diperkotaan mengalami penderitaan karena kenaikan hrga barang akibat kenaikan harga BBM dan bahan pokok. Namun cerita kembali berubah akibat ambruknya lambang supremasi kapitalisme dunia dua bulan setelah menikmati “Oil Bonanza” yakni krisis keuangan di Amerika Serikat pada pertengahan September akibat bangkrutnya perusahaan investasi Lehmans Brothers. Dampak yang dihasilkannya semua komoditas di seluruh Dunia terutama di sektor energi terjun bebas. Harga minyak mentah perlahan-lahan turun hingga US$ 48,85 per barel (www.bloomberg.com), selanjutnya harga CPO jatuh bebas hingga harga TBS di tingkat petani tinggal pada kisaran Rp 100 – 300 per kilogram. Akibat penurunan harga minyak mentah maka banyak negara tergabung dalam G-7 mengalami krisis keuangan.

Minyak bumi selama beberapa dekade telah memegang peranan penting dalam pembangunan di setiap negara. Bahkan Indonesia meskipun menjadi negara pengimpor minyak masih juga mengandalkan ekspor minyak bumi. Minyak bumi Indonesia merupakan yang terbaik sehingga meskipun mengimpor minyak Indonesia masih surplus pendapatan di bidang perminyakan. Hubungan minyak bumi dengan komoditas lain karena sektor perminyakan masih di andalkan di bidang transportasi komoditas yang lain. Tanpa minyak bumi bisa dikatakan ekonomi negara akan lumpuh. Dampak negatif ini kemudian disebut “Kutukan Sumber daya alam”.


Secara sederhana, kutukan sumber daya alam mengacu pada hubungan terbalik antara ketergantungan yang besar terhadap sumber daya alam dan tingkat pertumbuhan ekonomi. Sejumlah studi mutakhir menunjukkan bahwa performa ekonomi negara-negara berkembang yang kaya sumber daya alamnya lebih buruk ketimbang negara berkembang lain yang memiliki lebih sedikit sumber daya alam. Misalnya antara indonesia dengan Brazil, India, Malaysia, Thailand dan Vietnam. Negara yang bergantung pada ekspor sumber daya alam saat ini selalu di kaitkan dengan pertumbuhan ekonomi yang lambat. Negara yang hanya mengandalkan pendapatan dari ekspor komoditas tidak hanya lebih buruk dari negara yang sedikit sumber daya alam tapi jauh lebih buruk dari apa seharusnya yang di dapatkan.


Kutukan minyak bumi

Pengalaman selama empat dekade menunjukkan bahwa ekspor minyak menjadikan perekonomian negara menjadi lebih baik, harapan ini muncul tatkala awal soeharto memerintah dahulu. Ternyata saat ini harapan menjadi harapan meskipun negara telah menggenjot sektor non migas tetapi tetap juga bergantung pada si “emas hitam” ini. Harapan ini semakin sulit di wujudkan karena banyak hambatan di bidang ini. Bahkan bisa dikatakan sektor ini rawan konflik hal ini bisa kita saksikan dari Saudi hingga Venezuela.


Negara-negara pengekspor minyak lebih pantas disebut menderita “paradox of plenty”, “Problem Raja Midas” atau apa yang disebut Juan Pablo Perez Alfonso, Pendiri organisasi negara pengkspor minyak (OPEC), sebagai “Efek kotoran setan”. Kenyataannya memang memprihatinkan: negara yang mengandalkan pendapatan dari minyak bermasalah secara ekonomi, rawan korupsi dan penuh konflik. Tak heran bila negara-negara ini termasuk dalam nomor wahid dalam daftar negara korup seperti: Nigeria, Angola, Azerbaijan, Kongo, Kamerun dan Indonesia yang bersaing secara ketat dari tahun ke tahun dalam rangking TI (Transparency International). Mengenai performa memburuk di bidang ekonomi ini beragam dan masih diperdebatkan, tapi kombinasi dari berbagai faktor menyebabkan negara pengekspor minyak mengalami kegagalan kebijakan dan merosotnya pertumbuhan. Faktor-faktor ini antara lain:

  1. Ketidakstabilan Harga Minyak. Harga minyak yang tidak stabil dan akibatnya perputaran ekonomi yang sesaat booming dan turun lagi, mempersulit pengambilan keputusan untuk mengelola secara efektif. Ketidakstabilan harga berdampak negatif terhadap disiplin anggaran, pengawasan terhadap keuangan publik dan upaya perencanan negara.
  2. Dutch Disease. Negara-negara yang bergantung pada ekspor minyak sering mengalami apa yang disebut dengan Dutch Disease. Suatu fenomena yang terjadi saat sektor minyak meningkatkan nilai mata uang lokal dan menyebabkan sektor ekspor lainnya tidak kompetitif, fenomena ini terjadi dari Zaman Soeharto hingga Megawati. Dampak dari sektor ini, sektor minyak menekan sektor lain yang lebih menjanjikan khususnya sektor agrikultural dan manufaktur. Karena sektor ini tergantung pada dana minyak, ketergantungan makin bertambah sehingga dari waktu ke waktu mengurangi daya saing bangsa secara permanen.
  3. Tidak Ada Akumulasi Keterampilan. Industri minyak menciptakan sedikit lapangan kerja, keahlian jenis ini umumnya tidak sesuai dengan tenaga kerja yang dihasilkan atau tersedia di negara dan wilayah produsen minyak. Akibatnya tenaga ahli harus ditraining dulu untuk mendapatkan keahliannya atau mendatangkan tenaga kerja asing. Ini berarti merampas keuntungan besar dari ekspor minyak dan melupakan learning by doing yang merupakan inti pembangunan ekonomi.

Dengan faktor-faktor di atas wajar bila negara yang sedikit seumber daya alamnya lebih maju dibanding negara kaya sumber daya alamnya dimana kebutuhan akan pendidikan mereka sangat tinggi, khususnya pada sektor manufaktur, agrikultural dan piranti lunak. Dengan akumulasi keahliannya meningkat lebih cepat sehingga ketimpangan kemakmuran lebih kecil. Pertumbuhan ekonomi mereka saat ini meningkat karena produktivitas meningkat bukan hanya semata karena penjualan minyak. Dengan adanya ketergantungan pada minyak sangat besar maka akan melemahkan permintaan terhadap ilmu pengetahuan yang merupakan inti pertumbuhan ekonomi pada abad 21 ini.


Kutukan Kelapa Sawit.

Selain minyak bumi, sumber daya alam yang menjadi andalan di negeri ini adalah kelapa sawit dengan produk intermediatnya berupa CPO dan KPO dan berbagai produk turunannya seperti biodiesel, minyak goreng dan lain-lain. Umumnya pasar yang dituju untuk produk indsutri sawit ini adalah negara-negara di Eropa dan Amerika Serikat. Ketika isu bioenergi menjadi booming dan tingginya harga minyak bumi, Permintaan produk ini meningkat pesat. Bahkan menjadi primadona di tiga negara besar penghasil sawit yakni Indonesia, Malaysia dan Thailand yang menguasai 90 persen dunia. Di setiap tempat sawit menjadi primadona yang di puja-puja. Bahkan tiada hari tanpa kata “kebun sawit” di setiap mulut masyarakat.

Tingginya permintaan akan bahan bioenergi tentu akan meningkatkan harga sawit. Namun harus dipahami meskipun sawit penghasil minyak nabati yang besar, tidak hanya tanaman sawit yang menghasilkan minyak nabati. Banyak tanaman lain yang mampu menghasilkan minyak nabati seperti kedelai dan biji bunga matahari yang mampu tumbuh di daerah Sub Tropis seperti Australia, Eropa dan Amerika. Dengan tingginya harga minyak sawit dan adanya panen kedelai dan bunga matahari, di tambah krisis yang mendera negara-negara konsumen minyak sawit. Maka mereka mengubah arah dengan membeli dan melindungi produk dalam negerinya dari serbuan minyak sawit. Akibatnya harga sawit menjadi jatuh total karena tujuan ekspor utama minyak sawit adalah negara-negara Eropa dan Amerika demi mengharapkan Dollar dan Euro. Sementara itu 2 negara dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi dan penduduk terpadat di dunia yakni China dan India potensi pasarnya belum dilirik sama sekali.


Ketergantungan yang berlebihan pada ekspor berbasis Sumber daya alam sangat terkait dengan institusi publik yang lemah, yang umumnya tidak mampu menghadapi tantangan pembangunan. Dampak lanjutannya jika institusi dibentuk negara secara sepihak maka akan cenderung menciptakan negara rente-hidup dari keuntungan sumber daya alam. Dalam negara rente, pengaruh ekonomi dan kekuatan politik akan terkonsentrasi, garis batas antara publik dan privat tidak jelas. Pemerintah akan tetap memegang kekuasaannya dengan membagi-bagikan pendapatan kekayaan alam untuk dirinya sendiri dan pendukung-pendukungnya melalui berbagai kebijakan seperti subsidi, proteksi, penciptaan lapangan kerja dan belanja yang berlebihan dengan berbagai pemborosan lainnya.


Negara yang sedikit sumber daya alamnya tekanan dari kelangkaan dari sumber daya alam tidak memberikan toleransi terhadap pemborosan dan pencurian. Perekonomiannya tidak mendukung proteksi terhadap kalangan tertentu dan lebih cenderung ke pengembangan sumber daya manusia atau Knowledge Economic Based. Tapi di negara yang mengandalkan sumber daya alam kekayaan alamnya cenderung melemahkan lembaga-lembaga yang mengendalikannya. Akibatnya Negara terlihat kuat namun kosong. Tidak heran bila kekayaan sumber daya alam lebih menciptakan bangsa buruh dan pesuruh dari pada bangsa terdidik, akibatnya kekayaan alam hanya menyimpan potensi konflik. Potensi konflik di negara miskin sumber daya alam lebih kecil terjadi dari pada negara yang kaya sumber daya alam, dan ini tentu saja menjadi kutukan sumber daya alam...

Afrizal adalah aktivis Forum Anggota Muda Persatuan Insinyur Indonesia (FAM-PII) wilayah Riau”

Tidak ada komentar:

SPIRIT DAKWAH