Jumat, 26 Desember 2008

Ummi..

Waktu kamu berumuran 1 tahun , dia menyuapi dan memandikanmu ... sebagai balasannya ... kau menangis sepanjang malam.
Waktu kamu berumur 2 tahun , dia mengajarimu bagaimana cara berjalan ..
sebagai balasannya .... kamu kabur waktu dia memanggilmu

Waktu kamu berumur 3 tahun, dia memasak semua makananmu dengan kasih sayang .. sebagai balasannya ..... kamu buang piring berisi makananmu ke lantai
Waktu kamu berumur 4 tahun, dia memberimu pensil warna ... sebagai balasannya .. kamu corat coret tembok rumah dan meja makan
Waktu kamu berumur 5 tahun, dia membelikanmu baju-baju mahal dan indah..sebagai balasannya ... kamu memakainya bermain di kubangan lumpur
Waktu berumur 6 tahun, dia mengantarmu pergi ke sekolah ... sebagai
balasannya ... kamu berteriak 'NGGAK MAU ..!'

Waktu berumur 7 tahun, dia membelikanmu bola ... sebagai balasannya .kamu melemparkan bola ke jendela tetangga
Waktu berumur 8 tahun,
dia memberimu es krim ... sebagai balasannya...kamu tumpahkan dan mengotori seluruh bajumu

Waktu kamu berumur 9 tahun , dia membayar mahal untuk kursus-kursusmu .sebagai balasannya .... kamu sering bolos dan sama sekali nggak mau belajar


Waktu kamu berumur 10 tahun,
dia mengantarmu kemana saja, dari kolam renang sampai pesta ulang tahun .. sebagai balasannya .... kamu melompat
keluar
mobil tanpa memberi salam
Waktu kamu berumur 11 tahun, dia mengantar kamu dan temen-temen kamu ketempat hiburan .. sebagai balasannya ... kamu tinggalkan ia sampai kebingungan menunggu...
Waktu kamu berumur 12 tahun, dia melarangmu melihat acara tv khusus untuk orang dewasa ... sebagai balasannya .... kamu tunggu sampai dia keluar rumah
Waktu kamu berumur 13 tahun, dia menyarankanmu untuk memotong rambut karena sudah waktunya .sebagai balasannya.. kamu bilang dia tidak tahu mode
Waktu kamu berumur 14 tahun, dia membayar biaya untuk kemahmu selama liburan .. sebagai balasannya .... kamu nggak pernah menelponnya
Waktu kamu berumur 15 tahun, pulang kerja dia ingin memelukmu ...
sebagai balasannya ..... kamu kunci pintu kamarmu

Waktu kamu berumur 16 tahun, dia mengajari kamu mengemudi mobil ....sebagai balasannya .... kamu pakai mobilnya setiap ada kesempatan tanpa
mempedulikan kepentingannya


Waktu kamu berumur 17 tahun, dia sedang menunggu telpon yang penting ... sebagai balasannya .... kamu pakai telpon nonstop semalaman,
waktu kamu berumur 18 tahun, dia menangis terharu ketika kamu lulus SMA.. sebagai balasannya .... kamu berpesta dengan teman-temanmu sampai pagi

Waktu kamu berumur 19 tahun,
dia membayar semua ku lia hmu dan mengantarmu

ke kampus pada hari pertama ..... sebagai balasannya .... kamu minta
diturunkan jauh dari pintu gerbang biar nggak malu sama temen-temen

Waktu kamu berumur 20 tahun, dia bertanya 'Darimana saja seharian ini?'.. sebagai balasannya ... kamu menjawab 'Ah,
cerewet amat sih, pengen tahu urusan orang.'
Waktu kamu berumur 21 tahun, dia menyarankanmu satu pekerjaan bagus untuk karier masa depanmu ... sebagai balasannya .... kamu bilang 'Aku nggak mau
seperti kamu.'


Waktu kamu berumur 22 tahun,

dia memelukmu dan haru waktu kamu lulus
perguruan tinggi .. sebagai balasanmu ... kamu nanya kapan kamu bisa main ke luar negeri


Waktu kamu berumur 23 tahun,

dia membelikanmu 1 set furniture untuk rumah
barumu ... sebagai balasannya ... kamu ceritain ke temanmu betapa jeleknya furniture itu


Waktu kamu berumur 24 tahun,

dia bertemu dengan tunanganmu dan bertanya
tentang rencana di masa depan ... sebagai balasannya ... kamu mengeluh
'Aduh gimana sih kok bertanya seperti itu.'


Waktu kamu berumur 25 tahun,

dia membantumu membiayai pernikahanmu ..
sebagai balasannya ... kamu pindah ke kota lain yang jaraknya lebih dari 500 km.


Waktu kamu berumur 30 tahun,

dia memberimu nasehat bagaimana merawat
bayimu ... sebagai balasannya .... kamu katakan 'Sekarang jamannya sudah beda.'


Waktu kamu berumur 40 tahun
, dia menelponmu untuk memberitahu pesta salah
satu saudara dekatmu ... sebagai balasannya kamu jawab 'Aku sibuk sekali,
nggak ada waktu.'


Waktu kamu berumur 50 tahun,
dia sakit-sakitan sehingga memerlukan perawatanmu ... sebagai balasannya .... kamu baca tentang pengaruh negatif orang tua yang numpang tinggal di rumah anaknya

dan hingga SUATU HARI, dia meninggal dengan tenang ... dan tiba-tiba kamu
teringat semua yang belum pernah kamu lakukan, ... dan itu menghantam
HATIMU bagaikan pukulan godam

MAKA ...
JIKA ORANGTUAMU MASIH ADA ... BERIKANLAH KASIH SAYANG DAN PERHATIAN LEBIH DARI YANG PERNAH KAMU BERIKAN SELAMA INI
JIKA ORANG TUAMU SUDAH TIADA .... INGATLAH KASIH SAYANG DAN CINTANYA YANG TELAH DIBERIKANNYA DENGAN TULUS TANPA SYARAT KEPADAMU




Ini adalah mengenai Nilai kasih Ibu dari Seorang anak
yang mendapatkan ibunya sedang sibuk menyediakan makan malam di dapur.

Kemudian dia menghulurkan sekeping kertas yang
bertulis sesuatu. si ibu segera membersihkan tangan dan lalu menerima
kertas yang dihulurkan oleh si anak dan membacanya.

OngKos upah membantu ibu:
1) Membantu Pergi Ke Warung: Rp20.000
2) Menjaga adik Rp20.000
3) Membuang sampah Rp5.000
4) Membereskan Tempat Tidur Rp10.000
5) menyiram bunga Rp15.000
6) Menyapu Halaman Rp15.000
Jumlah : Rp85.000


Selesai membaca, si ibu tersenyum memandang si anak
yang raut mukanya berbinar-binar.

Si ibu mengambil pena dan menulis
sesuatu dibelakang kertas yang sama.

1) OngKos mengandungmu selama 9bulan -
GRATIS
2) OngKos berjaga malam karena menjagamu -
GRATIS
3) OngKos air mata yang menetes karenamu -
GRATIS
4) OngKos Khawatir kerana selalu memikirkan keadaanmu
- GRATIS

5) OngKos menyediakan makan minum, pakaian dan keperluanmu - GRATIS
6) OngKos mencuci pakaian, gelas, piring dan keperluanmu -
GRATIS
Jumlah Keseluruhan Nilai Kasihku - GRATIS

Air mata si anak berlinang setelah membaca. Si anak
menatap wajah ibu, memeluknya dan berkata, 'Saya Sayang Ibu'.Kemudian si
anak mengambil pena dan menulis sesuatu didepan surat yang
ditulisnya: 'Telah Dibayar' .

Jika kamu menyayangi ibumu,'FORWARD' lah
Email ini kepada sahabat-sahabat anda.

1 orang :Kamu tidak sayang ibumu
2-4 orang :Kamu sayang ibumu
5-9 orang :Bagus! Ternyata Kamu Sayang juga Kepada
Ibumu
10/lebih : Waahhhh.......Kamu akan disayangi Ibumu
dan juga semua orang...


APAKAH KAMU SAYANG ORANGTUAMU????

KARENA ORANGTUAMU SELALU MENYAYANGIMU.

Mother is the best super hero in the world.

Senin, 22 Desember 2008

Memahami Kutukan Sumber Daya Alam


Afrizal*

Tahun 2008 mencatatkan hal-hal yang penting di sektor energi dan produk komoditas berbasis energi, pertama rekor harga minyak mentah mencetak harga tertinggi dalam sejarah di pasar Nymex (New York Mercantile Exchange) pada bulan juli yakni US$ 149 per barrel, kedua meroketnya harga CPO di Pasar Rotterdam yang berimbas naiknya harga minyak goreng. Di tengah meroketnya harga komoditas tersebut berimbas pada pola konsumsi di negeri ini, masyaraakat yang menikmati kenaikan harga komoditas sawit yang merupakan bahan baku untuk CPO cenderung lebih konsumtif. Sementara masyarakat yang umumnya diperkotaan mengalami penderitaan karena kenaikan hrga barang akibat kenaikan harga BBM dan bahan pokok. Namun cerita kembali berubah akibat ambruknya lambang supremasi kapitalisme dunia dua bulan setelah menikmati “Oil Bonanza” yakni krisis keuangan di Amerika Serikat pada pertengahan September akibat bangkrutnya perusahaan investasi Lehmans Brothers. Dampak yang dihasilkannya semua komoditas di seluruh Dunia terutama di sektor energi terjun bebas. Harga minyak mentah perlahan-lahan turun hingga US$ 48,85 per barel (www.bloomberg.com), selanjutnya harga CPO jatuh bebas hingga harga TBS di tingkat petani tinggal pada kisaran Rp 100 – 300 per kilogram. Akibat penurunan harga minyak mentah maka banyak negara tergabung dalam G-7 mengalami krisis keuangan.

Minyak bumi selama beberapa dekade telah memegang peranan penting dalam pembangunan di setiap negara. Bahkan Indonesia meskipun menjadi negara pengimpor minyak masih juga mengandalkan ekspor minyak bumi. Minyak bumi Indonesia merupakan yang terbaik sehingga meskipun mengimpor minyak Indonesia masih surplus pendapatan di bidang perminyakan. Hubungan minyak bumi dengan komoditas lain karena sektor perminyakan masih di andalkan di bidang transportasi komoditas yang lain. Tanpa minyak bumi bisa dikatakan ekonomi negara akan lumpuh. Dampak negatif ini kemudian disebut “Kutukan Sumber daya alam”.


Secara sederhana, kutukan sumber daya alam mengacu pada hubungan terbalik antara ketergantungan yang besar terhadap sumber daya alam dan tingkat pertumbuhan ekonomi. Sejumlah studi mutakhir menunjukkan bahwa performa ekonomi negara-negara berkembang yang kaya sumber daya alamnya lebih buruk ketimbang negara berkembang lain yang memiliki lebih sedikit sumber daya alam. Misalnya antara indonesia dengan Brazil, India, Malaysia, Thailand dan Vietnam. Negara yang bergantung pada ekspor sumber daya alam saat ini selalu di kaitkan dengan pertumbuhan ekonomi yang lambat. Negara yang hanya mengandalkan pendapatan dari ekspor komoditas tidak hanya lebih buruk dari negara yang sedikit sumber daya alam tapi jauh lebih buruk dari apa seharusnya yang di dapatkan.


Kutukan minyak bumi

Pengalaman selama empat dekade menunjukkan bahwa ekspor minyak menjadikan perekonomian negara menjadi lebih baik, harapan ini muncul tatkala awal soeharto memerintah dahulu. Ternyata saat ini harapan menjadi harapan meskipun negara telah menggenjot sektor non migas tetapi tetap juga bergantung pada si “emas hitam” ini. Harapan ini semakin sulit di wujudkan karena banyak hambatan di bidang ini. Bahkan bisa dikatakan sektor ini rawan konflik hal ini bisa kita saksikan dari Saudi hingga Venezuela.


Negara-negara pengekspor minyak lebih pantas disebut menderita “paradox of plenty”, “Problem Raja Midas” atau apa yang disebut Juan Pablo Perez Alfonso, Pendiri organisasi negara pengkspor minyak (OPEC), sebagai “Efek kotoran setan”. Kenyataannya memang memprihatinkan: negara yang mengandalkan pendapatan dari minyak bermasalah secara ekonomi, rawan korupsi dan penuh konflik. Tak heran bila negara-negara ini termasuk dalam nomor wahid dalam daftar negara korup seperti: Nigeria, Angola, Azerbaijan, Kongo, Kamerun dan Indonesia yang bersaing secara ketat dari tahun ke tahun dalam rangking TI (Transparency International). Mengenai performa memburuk di bidang ekonomi ini beragam dan masih diperdebatkan, tapi kombinasi dari berbagai faktor menyebabkan negara pengekspor minyak mengalami kegagalan kebijakan dan merosotnya pertumbuhan. Faktor-faktor ini antara lain:

  1. Ketidakstabilan Harga Minyak. Harga minyak yang tidak stabil dan akibatnya perputaran ekonomi yang sesaat booming dan turun lagi, mempersulit pengambilan keputusan untuk mengelola secara efektif. Ketidakstabilan harga berdampak negatif terhadap disiplin anggaran, pengawasan terhadap keuangan publik dan upaya perencanan negara.
  2. Dutch Disease. Negara-negara yang bergantung pada ekspor minyak sering mengalami apa yang disebut dengan Dutch Disease. Suatu fenomena yang terjadi saat sektor minyak meningkatkan nilai mata uang lokal dan menyebabkan sektor ekspor lainnya tidak kompetitif, fenomena ini terjadi dari Zaman Soeharto hingga Megawati. Dampak dari sektor ini, sektor minyak menekan sektor lain yang lebih menjanjikan khususnya sektor agrikultural dan manufaktur. Karena sektor ini tergantung pada dana minyak, ketergantungan makin bertambah sehingga dari waktu ke waktu mengurangi daya saing bangsa secara permanen.
  3. Tidak Ada Akumulasi Keterampilan. Industri minyak menciptakan sedikit lapangan kerja, keahlian jenis ini umumnya tidak sesuai dengan tenaga kerja yang dihasilkan atau tersedia di negara dan wilayah produsen minyak. Akibatnya tenaga ahli harus ditraining dulu untuk mendapatkan keahliannya atau mendatangkan tenaga kerja asing. Ini berarti merampas keuntungan besar dari ekspor minyak dan melupakan learning by doing yang merupakan inti pembangunan ekonomi.

Dengan faktor-faktor di atas wajar bila negara yang sedikit seumber daya alamnya lebih maju dibanding negara kaya sumber daya alamnya dimana kebutuhan akan pendidikan mereka sangat tinggi, khususnya pada sektor manufaktur, agrikultural dan piranti lunak. Dengan akumulasi keahliannya meningkat lebih cepat sehingga ketimpangan kemakmuran lebih kecil. Pertumbuhan ekonomi mereka saat ini meningkat karena produktivitas meningkat bukan hanya semata karena penjualan minyak. Dengan adanya ketergantungan pada minyak sangat besar maka akan melemahkan permintaan terhadap ilmu pengetahuan yang merupakan inti pertumbuhan ekonomi pada abad 21 ini.


Kutukan Kelapa Sawit.

Selain minyak bumi, sumber daya alam yang menjadi andalan di negeri ini adalah kelapa sawit dengan produk intermediatnya berupa CPO dan KPO dan berbagai produk turunannya seperti biodiesel, minyak goreng dan lain-lain. Umumnya pasar yang dituju untuk produk indsutri sawit ini adalah negara-negara di Eropa dan Amerika Serikat. Ketika isu bioenergi menjadi booming dan tingginya harga minyak bumi, Permintaan produk ini meningkat pesat. Bahkan menjadi primadona di tiga negara besar penghasil sawit yakni Indonesia, Malaysia dan Thailand yang menguasai 90 persen dunia. Di setiap tempat sawit menjadi primadona yang di puja-puja. Bahkan tiada hari tanpa kata “kebun sawit” di setiap mulut masyarakat.

Tingginya permintaan akan bahan bioenergi tentu akan meningkatkan harga sawit. Namun harus dipahami meskipun sawit penghasil minyak nabati yang besar, tidak hanya tanaman sawit yang menghasilkan minyak nabati. Banyak tanaman lain yang mampu menghasilkan minyak nabati seperti kedelai dan biji bunga matahari yang mampu tumbuh di daerah Sub Tropis seperti Australia, Eropa dan Amerika. Dengan tingginya harga minyak sawit dan adanya panen kedelai dan bunga matahari, di tambah krisis yang mendera negara-negara konsumen minyak sawit. Maka mereka mengubah arah dengan membeli dan melindungi produk dalam negerinya dari serbuan minyak sawit. Akibatnya harga sawit menjadi jatuh total karena tujuan ekspor utama minyak sawit adalah negara-negara Eropa dan Amerika demi mengharapkan Dollar dan Euro. Sementara itu 2 negara dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi dan penduduk terpadat di dunia yakni China dan India potensi pasarnya belum dilirik sama sekali.


Ketergantungan yang berlebihan pada ekspor berbasis Sumber daya alam sangat terkait dengan institusi publik yang lemah, yang umumnya tidak mampu menghadapi tantangan pembangunan. Dampak lanjutannya jika institusi dibentuk negara secara sepihak maka akan cenderung menciptakan negara rente-hidup dari keuntungan sumber daya alam. Dalam negara rente, pengaruh ekonomi dan kekuatan politik akan terkonsentrasi, garis batas antara publik dan privat tidak jelas. Pemerintah akan tetap memegang kekuasaannya dengan membagi-bagikan pendapatan kekayaan alam untuk dirinya sendiri dan pendukung-pendukungnya melalui berbagai kebijakan seperti subsidi, proteksi, penciptaan lapangan kerja dan belanja yang berlebihan dengan berbagai pemborosan lainnya.


Negara yang sedikit sumber daya alamnya tekanan dari kelangkaan dari sumber daya alam tidak memberikan toleransi terhadap pemborosan dan pencurian. Perekonomiannya tidak mendukung proteksi terhadap kalangan tertentu dan lebih cenderung ke pengembangan sumber daya manusia atau Knowledge Economic Based. Tapi di negara yang mengandalkan sumber daya alam kekayaan alamnya cenderung melemahkan lembaga-lembaga yang mengendalikannya. Akibatnya Negara terlihat kuat namun kosong. Tidak heran bila kekayaan sumber daya alam lebih menciptakan bangsa buruh dan pesuruh dari pada bangsa terdidik, akibatnya kekayaan alam hanya menyimpan potensi konflik. Potensi konflik di negara miskin sumber daya alam lebih kecil terjadi dari pada negara yang kaya sumber daya alam, dan ini tentu saja menjadi kutukan sumber daya alam...

Afrizal adalah aktivis Forum Anggota Muda Persatuan Insinyur Indonesia (FAM-PII) wilayah Riau”

Minggu, 14 Desember 2008

Herbicide Tolerant Soybean: Just Another Step In A Technology Treadmill?

The article “Herbicide Tolerant Soybean: Just Another Step In A Technology Treadmill?”, written by Volker Lehman and Walter A Pengue, Biotechnology and Development Monitor (No.43 December 2000, p.11-14) it mainly discusses the effect of transgenic soybean in Argentine’s economy. It seemed that both the farmers and the country statistic got large amount of benefit by investing in transgenic soybean technology, however, this is supposed to be worried in long-term negative effect on economic, social and ecological system. Even though there is no serious damage which has been found, but it probably can not be forecast by current knowledge and the worry mounts that the effect can be cumulative and cascade in the future

Argentina earned US$ 25 billion from the soybean and its derivatives export which could mean that 20 percent of the total export. The country had supplied one third of the world demand on soybean grain, in fact it produced only 10 percent of the total world production. This successive portrait had been caused by not only because the benign climate and the fertile soil that gave comparative advantages, but also increased of grains prices since 1980s. The production of soybean grains had increased sharply, so there was possibility to harvest three times in two years. At the end of hyperinflation in 1991, both the problem of the domestic currency fixation towards US Dollar and the declined in export volume have urged Argentine to invest in the new technology.

Unfortunately the intensification of the soil utilisation had declined the fertility and forced the addition of fertilizers from 0.3 million to 2.5 million tones in the period of 1990 to 1999. Trying to combat this problem, it was introduced “no-tillage, a new sowing technology”. By using this technology, it should be accompanied by herbicide which is named as herbicide tolerant soybean to support the massive production. There were two main reasons which tempted the using of this transgenic soybean, that were the lower price of herbicide and fewer expenses on labour, fuel and machinery.

“The Comision Nacional Asesora de Biotechnogia, (National Advisory on Agricultural and Technology, CONABIA)” had assessed the environmental risk and there was not any significant differences between the conventional cultivation and Round Up Ready (RR) in term of competitiveness, outcrossing, weediness and harm to other organisms. The soybean is weak without cultivation to compete with the weeds, so it need the glyphosate (a kind of herbicide) to eradicate them. However, there are worries about the usage of herbicide which can cause damage in social, economic and ecological sector in long-term effect. Although there is no significant damage which has been discovered, but it may be cumulative series of problem that can not be predicted through current knowledge.

The worry of public has mounted towards the Genetically Modified Organisms (GMOs) in recent years. The European Union has warned the people to be aware of GMOs and and the companies such as Tesco (UK) and Carrefour (France) have banned the GMOs to be contained in their assortments. To avoid the GMOs from the country such Argentine, The European Union finds another alternative grains exporter such as Brazil which does not use transgenic technology to produce the soybean. This signal can be serious threat to Argentine’s economy which depends on export. There are three consequences in social and economic sector by using herbicide tolerant on transgenic soybean, as follow:
Dependence on import. Argentine had to import fertilizers and herbicides to get large amount of production or at least to maintain the export rate.
Declining profit margin. The price of soybean had decreased 28% when at the same time the price of gasoline as the key ingredient for production had soared to 26%. The farmers could not afford to pay the bank credit which could disturb the process of production and influence the export activity.
Concentration of holding. The concentration of holding had increased since 1992 to 1997, it dominated 50% acreage of the main land production for soybean.

The homogenization of crops production caused the small-scale farmers could not maintain their competition. The diversification commodities of the global market and non-transgenic production either for export or internal need may be an alternative choice for them. In this case, the Government should play important role to subsidise them. It was written that, finally the buyer would decide what to purchase. It is inevitable to diagnose the effect of mono production on environment and human health in long term effect to anticipate the cumulative risks.

The explanation of this topic is clear for academic sphere and it has been well academically written. However, if this academic writing is also supposed to be read by general audience, it is not easy for them because there are some terminologies which are unfamiliar and it should be explained with different words that put in the bracket. The common readers probably have to read this article more than two times to understand what the writers want to deliver. The focus is quite good by focusing on specific topic, started from agricultural, genetically modified organism, transgenic technology, herbicide tolerant and finally the particular example, that is herbicide tolerant on soybean grains. However the focus is narrow down when the writers rely on one country (Argentine) as an example of general title. There should be more examples, either the countries or companies which allow the transgenic product or those who worry or even ban this product to be sold in their assortments.

In some description, it is quite fit the audience. This bases on the logic which is shown, such an example when the writer explained the background that contain Argentine’s agricultural short history, the adoption of transgenic and herbicide, consequences in social, economic and ecological and offered alternative solutions. However, the rhetoric of these logics have not been organized very well. We can find how the writers separated some ideas which should be written subsequently, such as the social and economic consequences would better be followed by ecological effect rather than the public responded to the GMOs. So, the readers will be easier to catch the writers ideas.

Definitions are written quite clear, but it would be better if this article is supposed to be read by small scale farmers or common people. Instead of using completely academic terminologies, the writers can add more explanation about the definition. The classification also had been made as well as the the comparison and the analysis, however, it should be simplify with series writing style rather than the random one. It seems that the writers used the four sources appropriately, effectively and sufficiently. We can argue about this because all of the sources seem to be written academically. They might be journals or books because there are some signals that reinforce this statement, such as the use of “(Factor Economico, No. 22, January/February pp. 86-94) and (Weed Science, No.47, pp.405-411)”.

To conclude this article, the writers reminded us that people in some part of the world has started to worry about the transgenic and herbicide tolerant usage in agricultural. Although it is indisputable that the mono production in staple sector, such as in Argentine had increased the country economic growth, but for long term effect there are some possible negative effects. It is not only in social and economic aspect, but also ecological which might be unpredicted by current knowledge. A serious effort should be done to analyse the effects and there should be alternative solutions toward this problem. Then, the writers should expand more examples. The examples are very important to support the main idea and to attain a comprehensive conclusion about an argument. It is also good idea if this article was written systematically.

Source: http://www.biotech-monitor.nl/4305.htm. “Herbicide Tolerant Soybean: Just another step in Technology Treadmill?”. By: Lehman, Volker and Pengue, Walter A, Biotechnology and Development Monitor (No.43 December 2000, p.11-14).

Food Security: Australian Approach, by Alfajri

According to the article “Australian Aid: Approach to Food Security” released by Australian Government AusAID is mainly states the fact of the food insecurity in developing countries, particularly in Asia Pacific Region and how Australia assists these countries to overcome the problems. Australia believes that food problems can be solved by conducting self-reliance, not self-sufficiency approach.

An estimation by the The United Nations Food and Agriculture Organisation (FAO) that 843 million people who live in transition and developing countries face famine problem. There are five million of children passed away each year as the effect of malnutrition and hunger, “20 million babies are born with low birth weight”, in the developing countries. Also, it was reported that half of the people who are world undernourished derive from farming communities which are smallholder owner, 20 percent live in landless rural area, 10 percent who depends their life on fishing, forest resources and herding. 20 percent rest are those who dwell in the city.

The vulnerable group, includes women, children under five, infirm, old and and the sick have become the target of hunger problems. The data showed that 70 percent of the total world undernourished are girls and women.

“When people do not have physical and economic access to nutritious, safe and sufficient food”, the food insecurity problems will be mounted. Once this condition happen, the conflict will follow to destabilise the social life. A lot of arm conflict occur in the area where the food supply is shorten.

Food safety is also crucial issue in food security because the contaminated food and water will cause health problems. If this issue is not solved in well organized manners, the chronic disease will be soared.

Australia as one of developed countries is willing to help the developing countries to release the food insecurity problems. That is why Australia offered food security approach which “based on self-reliance, not self-sufficiency”. This approach combines the important of domestic production and international trade. By conducting this approach into an effective policy, Australia endorse the developing countries “to increase the domestic production, strengthen the internal markets, support the infrastructure and undertake the domestic reform”. If this endorsement is succeed, the Australia has assisted these countries to achieve the international trade reform.

Supporting the implementation of policies and practices in developing countries is being done by Australia as well; as other main component of its’ approach. These policies include rural development promotion, sustainable agriculture, forestry and fishery production, and natural resource management. It also help to increase food safety, and export quality and increase women access to technology, natural resources, agricultural credit and information.

Research has the ultimate point and priority for Australia in delivering the aid. Australian Government through AusAID has helped Southern Philippines, Tonga, Samoa, Indonesia, Papua New Guinea to manage the food security not only by research assistant but also improve the living standard, social capital, stewardship, enhance the income earning opportunities, increase the food sustainability and efficiency. The aid also has been given to Lao People’s of Democratic Republic, Samoa, Zambia, Bangladesh. In Zambia, Australia support to improve food diversification crops while in Bangladesh the aid is targeted to help “extremely poor women”. Through the experience, it was found that the aid which was given to women are much more effective and they can fulfill the need of children compare to men.

Samoa has been guided to fight against the leaf blight to boost the taro production. The taro production were destroyed by the leaf blight in 1993. In 2001, the Australia assistance program has been completed and the program also build the Regional Germplasm Centre which enable the inhabitant to select varieties of taro that resist against the leaf blight. Australia also helped ASEAN member countries to support the reference laboratory which is located in Thailand. Through this laboratory the ASEAN countries will be able to monitor the region’s viruses active, exchange information on outbreaks, diagnose the outbreaks, monitor the vaccination programs, provide training and conduct project.

In the conclusion, Australian Government through the AusAID, emphasizes that the “food security can be manage for long term if the management of natural resources conducted effectively”. This also means that self-reliance approach is needed, that is both strengthen of domestic management and international trade are recognised.


Source: www.ausaid.gov.au.

Japan's Food Security, by Alfajri

An article “Japan’s Food Security”, taken from internet(27.2.2008) by “Malcolm Cook of The Lowy Institute for International Policy in Australia” mainly discusses how Japan is to deal with agricultural liberalization as opposed to the the protectionism policy. Japan faces a demographic problem, both the decline of population in rural areas where farmers are born and rapid aging has changed Japan’s approach to food policy. Even though Japan is open to free trade, but there is a strategic plan for self-sufficiency by 2015 when any 45 percent of the total ratio of food consumption will be produced by local farmers.

Japan’s policy to protect the agricultural sector, especially on food security, based on opinion that food is the same important as military, so Japan should not rely on other country. The government through The Ministry of Agricultural Forestry and Fisheries has organized the farmers politically.This policy has been taken to fulfill the farmers interest who have great power in the election poll, because “agricultural villages exist in many of 29 single-seat constituencies with election races”

Ironically, now Japan tries to liberalize the agricultural sector by opening the free trade policy as the impact of demographic obstacle. As an example, Japan has signed a bilateral agreement with Australia which is called as “economic partnership agreement” (EPA). This policy worries the Japanese because Japan allows the large number of foreign product in agricultural sector to penetrate the domestic market.

To protect the local farmers and relief the Japanese worries, the government provide 430 billion Yen in offset for prices differences between Japanese and Australian product. Critics come from the opposition, Democratic Party of Japan (DPJ) and it proposed to the government to provide full subsidy for the local farmers rather than relied on import. The government responded to that the opposition try to scatter the money because the government is not completely rely on import.

Therefore, the government made a provision to introduce a new subsidy policy for local farmers. By implementing this agenda, it is expected to increase the amount of production and attain 45 percent of the total consumption by 2015.

Mitos Pangan, by Alfajri

“The Myth-Scarcity, The Reality There is enough food” an article taken from internet (6.17.2007) by Food First and Development Policy is mainly discusses the the cause of hunger and how to deal with this problem in some of the third world countries. The main caused of the hunger are misused, degradation of resource and rapid population growth. this article concluded that If the potential resources can be empowered effectively, famine problems can be overcome and the myth is scarcity only.

It was found by a study which was done by The American Association for the advancement of Science (AAAS) that “78% of all malnourished children under five in the developing world live in countries with food surplus”. The Food and Agricultural Organization of The United Nations (FAO) reported that every region which gains in food production has kept the population growth ahead except Africa since 1950.

It was clear that many nations do not realize their potential resources to fulfill their food production and even most “hungry countries have enough food for all their people now”. What makes the problem emerge is when the countries which mostly face the famine complication do much more import than what they export, whereas the rich countries import more food than export. The rich countries purchase 71.2 percent for the food whereas the “30 lowest income countries” only export “5.2 percent of all international commerce in food and farm commodities”.

We can have a look at some countries below where hunger is not caused by scarcity.
India and Brazil.
There were 200 millions of India population go hungry. On the contrary, India exported “$625 million worth of wheat and flour, and $1.3 billion worth of rice which both kind of the food is main staple in India”. Brazil exported “more than $13 billion worth of food in 1994 (second among the third countries” where at the same time there were “70 millions of brazilian can not afford enough food to eat”.

Bangladesh
This country is as a symbol of world famine in 1970s. Yet it was the yearly under-reported by the Bangladesh’s official reported that Bangladesh could provide 2,000 calories each day for everybody with small amount of food as addition. Bangladesh has not cultivate the rich alluvial soil and the large amount of water supply which were blessed in that country land. It was predicted by experts that It could double or even triple the food production if the potential irrigation is used effectively.

Africa
It was a surprise, the Sub Saharan of Africa countries where “213 millions chronically” remained as food net exporter countries in 1994. “In fact the author of AAAS report referred to earlier, argues that despite inaccurate statistic and misleading media imaginary, hunger is actually less severe in sub Saharan countries than in South Asia”.

Theoretically, Africa can produce 25 to 35% higher than maximum potential production in Europe or North America in the grains yield if the potential land has been utilized in appropriately. It is only 10% of the potential land which is cultivated non-professionally in Chad. Mali, Sudan,Ethiopia, Somalia where most famine happened, the potential land only used in a few scale.

“Many long-time Africa’s observers stated that “Africa’s food potential has been distorted and thwarted”. Here are the causes of acute famine in Africa:
the colonial notion that continue in the modern era which pattern the people paradigm that good land is dedicated for cash production, export and the inhabitant were directed to utilize the marginal land. Furthermore, the national and international agencies have discredited peasant producers’ often sophisticated knowledge of ecologically appropriate farming system.
Public Resources, research and credit of agricultural have been spent on export crops
Domination of men over women who work to produce food crop. This preferential means that cash crop is given more treatment compare to food crops.
Aid policy is controlled by elites who have export oriented. even though the government try to overvalued their currencies, the free trade policy has drifted away this solution.
Multinational Corporation advertisement has changed the taste pattern of African by saying that “He will be smart. He will go far, He will eat bread”. Thirty years ago, only a few of African eat bread, but nowadays many African eat bread which third of total amount is imported.

By owning today’s large amount of food supplies and also the potential of land which has not been utilize effectively, this article concluded that the scarcity myth can be thrown away. Indeed, there is hunger in reality but not scarcity.


Source: http://www.thirdworldtraveler.com/Global_Secrets_Lies/Myht_FoodScarcity.html

Jumat, 12 September 2008

McCain, Angela Merkel, dan Isu PLTN

Menurut penulis, tiga alasan utama mengapa McCain menyampaikan pernyataan demikian. Pertama, rasa kebangsaannya yang tinggi dengan menyatakan bahwa belahan Eropa dan negara-negara dunia ketiga dapat menempuh langkah menuju tujuan besar dalam kebijakan energinya dengan terus merencanakan dan membangun PLTN, tapi mengapa kita tidak? Bahkan ditegaskannya bahwa AS lebih dari sekadar setara untuk melakukan hal yang sama. McCain menyadari bahwa AS adalah pelopor pembangunan PLTN. Bagi AS dalam pembangunan PLTN tidak ada masalah karena dana melimpah dan tenaga ahli menguasai teknologi nuklir dan mampu mengembangkannya secara efektif, efisien, dan aman. Oleh karena itu, dia prihatin mengapa AS mau ketinggalan dari negara-negara lain.

Kedua, menyangkut pertumbuhan ekonomi. Kenaikan harga minyak yang gila-gilaan saat ini, mencapai US$ 150 per barel, telah merusak tatanan ekonomi dunia khususnya negara-negara pengimpor minyak. Dengan membangun PLTN stabilitas harga listrik dapat terjaga dalam jangka panjang dan itu berarti dapat memacu pertumbuhan ekonomi. Terkait situasi ini Mc. Cain menegaskan bahwa tujuan kebijakannya memilih energi nuklir adalah di samping untuk mengurangi emisi karbon (aspek lingkungan) juga untuk memacu pertumbuhan ekonomi.

Ketiga, menyangkut lingkungan hidup. Sebagaimana diketahui umum bahwa energi konvensional (McCain menyebutnya energi tradisional) melepaskan emisi karbon dan zat-zat lain yang me- rusak lingkungan, yang berdampak pada pemanasan global. Dalam kaitan ini McCain menegaskan bahwa energi nuklir merupakan salah satu tujuan kebijakannya karena mengurangi emisi karbon. Energi nuklir adalah salah satu cara terbaik untuk mendapatkan suplai energi yang aman, bersih, berlimpah, dan stabil.

Kesalahan

Pada saat yang hampir bersamaan, pertengahan Juni 2008, dari benua Eropa terdengar suara yang sama. Kanselir Jerman Angela Merkel dalam pidatonya di konferensi ekonomi Partai Kristen Demokrat mengatakan, kebijaksanaan pemerintah untuk menutup PLTN merupakan kesalahan dan harus direvisi. Menutup PLTN merupakan kesalahan karena itu sumber energi paling aman di dunia.

Pernyataan Angela Merkel itu sebagai reaksi dan koreksi atas kebijakan pemerintah koalisi se- belumnya dari Partai Sosial Demokrat dan Partai Hijau yang dipimpin oleh Gerhard Schroeder, yang mengambil keputusan untuk menutup seluruh PLTN di Jerman pada 2021, walaupun pemerintahan Jerman sekarang (pemerintahan koalisi antara Partai Demokrat Kristen dan Partai Sosial Demokrat yang dipimpin Kanselir Angela Merkel) pada 2005 telah menyetujui untuk meneruskan kebijakan pemerintahan sebelumnya.

Namun, dalam perkembangannya, masing-masing partai terus mencari kebijakan sendiri soal energi. Hal ini terlihat dalam pernyataan lain dari Angela Merkel, yang menyatakan bahwa Jerman harus membuat kebijakan energi yang bagus. Apa yang kita lakukan saat ini mengurung usaha keberagaman produksi energi, dibanding mengambil sebuah langkah untuk mengembangkannya. “Saya merasa ini arah yang salah. Bukan sikap terbaik bagi Jerman, sebagai kekuatan ekonomi terbesar, Eropa jika kita harus membeli energi nuklir dari Prancis dan Finlandia hanya karena kita menutup PLTN kita sendiri,” kata Angela Merkel mengakhiri pernyataannya. Pernyataan Kanselir ini tentu tidak terlepas dari persiapan Pemilu Jerman pada September tahun depan.

Dari pernyataan kedua tokoh itu, yang berasal dari dua benua yang menguasai dunia dalam banyak hal, jelas terlihat bahwa PLTN telah menjadi isu kampanye dari Mc Cain sebagai kandidat presiden AS mewakili Partai Republik, November nanti dan Angela Merkel yang kemungkinan juga akan menjadi kandidat Kanselir mewakili Partai Kristen Demokrat dalam pemilu Jerman, September tahun depan.

Kedua tokoh ini sadar bahwa isu PLTN bukan tanpa risiko, termasuk risiko kalah. Karena itu, untuk kedua tokoh ini perlu diacungi jempol karena walaupun isu PLTN sangat sensitif, namun mereka begitu berani memanfaatkan PLTN sebagai isu kampanye.

Harus diakui bahwa opsi yang paling andal, rasional, dan realistis untuk mengatasi krisis energi dunia saat ini dan ke depan adalah dengan membangun PLTN, karena dari segi ekonomi efisien dan kompetitif. Teknologi yang dipakai sangat maju dengan tingkat keamanan dan keselamatan yang tinggi, serta ramah lingkungan.

Untuk menghindari risiko kalah, pasti kedua tokoh itu telah mempersiapkan kiat-kait khusus dan unggul serta melakukan kajian yang cerdas dan matang untuk menjadikan isu PLTN sebagai bagian materi dari kampanyenya. Penulis yakin kedua tokoh ini akan mendapat dukungan luas asal isu PLTN diracik secara cerdas, meyakinkan, dan akurat, mengingat masyarakat di kedua negara itu sangat terdidik dan rasional, ditambah dunia industri/usaha sangat terpukul dengan kenaikan harga minyak yang di luar per- hitungan akal sehat. PLTN bisa menjadi penyelamat bagi mereka.

Yang patut diperhitungkan adalah beberapa pentolan lingkungan hidup sebagai bagian dari pendiri Green Peace, seperti Dr Patrick Moore, Prof Dr James Lovelock, dan Bruno Comby, yang semula sangat gencar berkampanye menolak PLTN, akhirnya berbalik 180 derajat mendukung pembangunan PLTN. Perubahan sikap mereka itu bukan karena “dagang sapi”, tapi karena pertimbangan rasional, jujur, dan realistis melihat kenyataan di lapangan.

Pilpres 2009

Berkaca dari kedua tokoh tersebut, bagaimana dengan calon presiden atau capres Indonesia dalam Pilpres tahun depan? Adakah capres yang berani menggunakan PLTN sebagai isu kampanye untuk meraih dukungan rakyat? Harus diakui bahwa masyarakat Indonesia termasuk kalangan intelektual dan elite politik masih pro dan kontra terhadap kehadiran PLTN. Pro dan kontra itu biasa dalam dunia demokrasi. Namun, sangat disesalkan apabila ada segelintir intelektual dan elite politik yang hati nuraninya sebenarnya mendukung PLTN karena pertimbangan rasional, objektif dan realistis., tetapi kemudian menolak hanya karena kepentingan sesaat dan kelompok yang sempit muaranya merugikan kepentingan rakyat.

Lebih memprihatinkan apabila ada di antara kelompok ini menjadi juru bicara pihak asing untuk menolak kehadiran PLTN di Indonesia karena kepentingan politik, ekonomi, dan kepentingan terselubung lainnya dari pihak asing, yang muaranya merugikan kepentingan nasional. Bukan tidak mungkin mafia minyak, yang sedang ramai diberitakan pers saat ini dan akan diusut oleh DPR melalui hak angket, termasuk dalam kelompok ini.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono secara meyakinkan telah merintis kehadiran PLTN di Indonesia melalui Penetapan Blueprint Pengelolaan Energi Nasional 2005-2025, diikuti Peraturan Presiden No 5 Tahun 2006 tentang Ke-bijaksanaan Energi Nasional.



**)sangat aseli dicopy dari http ://www.himni.or.id/?p=46
***) kamase.org

TAHU APA KAMU TENTANG CINTA ?????

Cinta Kata Yang Sudah Tidak Asing lagi Dalam Dunia ini , Dimana Dia Berada , kapan Dia Ada Semuanya Selalu Bicara Soal kata yang Satu ini , Namun Tidak Dalam Setiap Waktu , Cinta Hanya Bisa Melakukan Apa yang Ia inginkan Namun Ia Tak Tau Bagaimana Selanjutnya … Well…. Semuanya Belum terlambat , Jika Melihat Apa Yang Pernah Kita Lakukan Kita Cerna Dan Kita Pikirkan Apa Yang Akan terjadi Jika Hari Itu Atau Waktu Itu Semuanya Tidak Mengerti Apa Yang Seharusnya Kita lakukan ……J Binggung Ya . Aku binggung Soalnya

Berapa banyak Defenisi Cinta Yang Kita Tau ? Semuanya Udah jadi Tabiat Diri Kita Yang Selalu Ingin Tau Tentang Hal Yang Terkadang Belum Kita Mengerti , Akhirnya Dikit Demi Sedikit Pengetahuan Kita bertambah Setiap Detiknya , Sungguh Tak Pernah Disadari Dulu Ketika Kita Sedang Duduk Dibangku SD Semuaya terasa Berat, Bahkan Kita Masih ingat Waktu Itu Diri Kita Masih Kecil Namun Sungguh Tak Disadari Ingatkah Kita Dengan Pelajaran IPS Di Masa itu ? Tak Sedikit Dari Kita Yang Sulit Untuk Mengingat Hal itu, Bagitu Juga Layaknya Cinta, Tak Heran Jika Cinta Yang Kita Temui 20 tahun Yang Silam Membuat Kita Berubah Dari Apa Yang Seharusnya Kita Lakukan Hari Ini , Tak Bisa Dipungkuri hal yang Belum Bisa Atau hal yang Belum Pernah Kita Rasakan Sulit Untuk Kita Bayangkan , Namun Hal Itu Bisa Kita Raba Dengan Pengetahuan Yang Kita Dengar Dan Pengalaman Diri Dari Hari KeHari Yang Selalu Kita Lalui Dalam kehidupan Ini .

Terbayang Waktu Yang Salalu Jadi Kenangan Yang Munkin Tidak terlalu indah Dalam Bayangan orang laen namun hal itu indah jika Kita yang merasakan , layaknya pemain Bola sulitnya dia mendapat umpan bola dari sang teman namun penonton tak bias merasakan hal itu , yang terpikir oleh kita hanya kegagalan atau kesalahan yang sudah diperbuatnya, namun kita tidak tau apa sebabnya, apa solusinya ? terkadang hal ini yang selalu di sepelekan oleh kita, berapa banyak contoh yang kita liat berapa banyak kata yang kita terima setiap harinya , berapa banyak sms yang kita terima setiap harinya , sure….ini semua tidak bisa jadi jaminan cinta yang akan kekal dan abadi , hanya menjaga hati kita untuk tetap setia itu munkin yang terbaik J

Lagu Yang kita dengar dari mp3 setiap liriknya begitu bermakna dikala hal itu sejalan dengan apa yang kita rasakan , dengan apa yang kita inginkan bahkan dengan apa yang pernah kita lihat sekalipun walau hal itu belum pernah kita rasakan dalam hidup ini

Begitu banyak gambaran yang kita rasakan saat kita merasakan hal yang baru pertama kali, tak banyak yang bisa kita lakukan dari semua ini , hanya saja kita yang belum sepenuhnya bisa menjaga hati ini untuk orang yang kita sayangi..tau apa kamu tentang sayang? Bagaimana kamu aplikasikan sayang kamu ? apa itu sayang ? pertanyaan yang mendasar tapi semuanya berakar dari jiwa kita untuk menjawabnya..bukan dari defenisi yang ada dalam buku, namun hal itu butuh jawaban yang pernah kita rasakan yang pernah kita lakukan yang pernah kita lihat dan laen sebagainya ….

Sabtu, 06 September 2008

KEBANGKITAN INDIVIDUAL DAN KEBANGKITAN NASIONAL (Memperingati Hari Kebangkitan Nasional)

Gelora cinta kebangsaan bergaung di seantero tanah
air. Semua ditujukan dalam rangka memperingati 100
tahun kebangkitan nasional. Untuk itu, berbagai bentuk
seremonialpun digelar. Namun kebanyakan cenderung
berupa seremonial, tanpa menyisakan dampak
kontemplatif. Dan, tak salah kiranya jika negeri ini
dijuluki negeri kaum selebriti. Karena, mental
manusianya yang kebanyakan doyan merayakan dan
menggelar perhelatan -jenis penyakit yang mungkin bisa
disebut dengan "selebritis obsesif kompulsif". Tak
banyak pastinya manfaat yang diperoleh ketika sifat
seperti ini dipelihara. Hanya sekedar merayakan, cepat
pula melupakan.
Jika diukur dari kacamata peradaban, bangsa ini bisa
jadi sedang dan akan mengalami fase yang paling
penting dalam literasi sejarahnya -hal ini didasarkan
pada teori pegas yang mengatakan bahwa sesuatu yang
terus tertekan lambat laun akan melakukan reaksi
sebaliknya. Harapan akan adanya momen perubahan
bukanlah pepesan kosong belaka. Memang, jika melihat
pada kajian global, tak banyak yang berminat
memprediksi peran Indonesia ke depannya. Termasuk pada
karya editor Newsweek, Fareed Zakaria, yang berjudul
The Beginning of The Post-American World. Pada buku
yang hangat diperbincangkan belakangan di media massa
internasional ini, sama sekali tidak ada pembahasan
akan peran Indonesia dalam konstelasi global. Begitu
juga dalam catatan para pengamat asing, Indonesia tak
lebih dari sebuah negeri yang penuh ironi: kaya tapi
banyak rakyatnya yang miskin; kaya tapi berhutang;
banyak penduduk tapi tidak produktif dan berbagai
anomali lainnya.
Meskipun demikian, banyak hal yang luput dari tatapan
mata para pengamat dan ilmuwan. Hal ini dikarenakan
dominasi mereka yang memandang potensi progresivitas
sebuah negara dari indikator-indikator daripada pada
variabel yang berkembang. Sehingga tak heran dalam
judul buku yang telah disinggung tadi dan beberapa
buku sejenis, penulis menggunakan elemen-elemen
keunggulan fisik untuk menyimpulkan siapa pewaris
tahta pos Amerika Serikat dan negara Barat umumnya.
Flashback jauh sebelum si editor tadi bermain dengan
prediksi futuristiknya, Ibnu Khaldun, seorang sosiolog
yang berpengaruh di kalangan ilmuwan kontemporer,
telah memberi panduan bagaimana memprediksi masa depan
suatu bangsa dan peradaban. Sebagaimana ulasan seorang
akademisi berkebangsaan Eropa, George Katsiafikas,
pada karya ilmiahnya "Ibnu Khaldun: A Dialectical
Philosopher for The New Millenium". Menurutnya, Ibnu
Khaldun telah meletakkan pondasi ilmiah dalam
menentukan nasib peradaban dunia pada tempat yang
substantif dan tak terbantahkan. Berbeda dari
kebanyakan ilmuwan, Ibnu Khaldun, sebagaimana yang
telah tertuang dalam magnum opus-nya Muqaddimah,
memandang kebangkitan sebuah bangsa pada tataran
manusianya.
Kebangkitan Individu
Jika kita melihat kondisi kebanyakan manusia
Indonesia sekarang, maka tak heran sikap skeptisme
akan menjadi pilihan ketika kalimat Indonesia bangkit
digelorakan. Fenomena moral hazard yang menjamur
menyimpulkan agaknya inilah manifest destiny dari
bangsa ini. Dan sangat kecil, bahkan tidak ada,
kemungkinan untuk merubahnya. Ya, kesimpulan itu benar
adanya apabila kita menginginkan manusia Indonesia
berubah secara sporadis; dalam satu waktu; dengan
teriakan revolusi dan mantra Abakadabra. Namun,
harapan untuk mengupayakan perubahan akan menjadi
realistis ketika kita mengedepankan paradigma
"berproses".
Sebagai upaya yang mengutamakan tahapan situasi,
"proses" tentunya membutuhkan elemen-elemen yang
saling berinterdependensi satu dengan yang lainnya.
Dalam proses inilah terasa bagaimana peran
masing-masing individu sangat menonjol dan bersifat
deterministik. Seyogyanya, setiap kita
bertanggungjawab dalam upaya menyelamatkan bangsa ini
dari keterpurukan multidimensi yang telah lama
menjangkiti. Dan hendaknya tanggungjawab tersebut
teraktualisasi melalui upaya-upaya individu yang
didasarkan pada goodwill, bukan sekedar slogan dan
retorika belaka; bukan pula diselingi dengan
kepentingan segelintir pihak yang acapkali dibungkus
kata-kata indah tetapi pada hakikatnya semu. Tidak
masalah seberapa penting peran dan tokoh yang kita
mainkan dan seberapa besar tindakan yang kita lakukan,
jika semua itu dalam rangka pengejewantahan dari
konsensus yang telah ditetapkan bersama.
Peluang Indonesia untuk bangkit merupakan sebuah
keniscayaan yang tinggal menunggu momen. Upaya ini
tentu saja harus dimulai dari kesadaran individu yang
kemudian berimplikasi bagi bangsa ini secara
keseluruhan. Sebab, hukum Tuhan telah menetapkan bahwa
stimulus untuk melakukan perubahan harus berasal dari
subyeknya. Untuk itu, sekarang semestinya tidak
diperlukan lagi perdebatan-perdebatan yang justru
semakin membuka bidang perbedaan dalam kehidupan
berbangsa. Sebaliknya, kita dituntut untuk selalu
memaksimalkan upaya untuk memperbanyak bidang
penerimaan terhadap nilai-nilai global, dalam kerangka
untuk mengeluarkan bangsa ini dari keterpurukannya.
Dengan demikian, paradigma yang terkonsentrasi dalam
kesatuan konsep dan teraktualisasikan dalam
upaya-upaya personal, insya Allah akan dapat
diwujudkan.
Esensi
Melihat tendensi di ruang publik, perbedaan ideologi
kerap menjadi penghambat utama bagi elemen bangsa ini
untuk bersatu dan bangkit. Ia juga detonator setiap
kekacauan dan kondisi anomali. Ideology disturbance
-demikian istilah yang bisa dipakai untuk mewakili
fenomena ini- umumnya disebabkan oleh beberapa hal:
Pertama, permasalahan penerimaan subtansi ideologi.
Adakalanya ideologi tersebut diproduksi demi
kepentingan kelas penguasa dan segelintir pihak,
sehingga pihak yang lebih idealis menentangnya. Kedua,
sikap fanatisme buta dan romantisisme (taklid) dari
individu masyarakat yang mengedepankan emosionalitas
daripada rasionalitas dalam menilai baik atau buruknya
sebuah ideologi -like and dislike. Kemudian ketiga,
konsekuensi dari hal kedua, individu masyarakat yang
taklid menjadi lebih rapuh dalam hal identitas dan
mudah dihasut kelompok anti-kemapanan dan
anti-keteraturan, terlebih ketika individu masyarakat
tersebut menggabungkan diri.
Memang, bukan hal yang mudah untuk menjembatani
perbedaan ideologi. Dibutuhkan langkah persuasif untuk
membentuk pemahaman pada tataran individu masyarakat.
Sejatinya, benturan merupakan produk dari
kekurangparipurnaan dan ketidakobjektifan individu
dalam memandang sesuatu. Bukti dari justifikasi
tersebut adalah, tak sedikit diantara kita yang lebih
suka menyerca sebuah ideologi, padahal secara esensial
konsepnya dibutuhkan bagi bangsa ini. Seharusnya kita
tak lagi memakai cara klasik dalam memandang sebuah
ideologi, yang cenderung mengedepankan label daripada
esensi. Pola pikir ini nantinya akan berekses negatif
dalam mewujudkan cita-cita nasional. Karena, di saat
bangsa dan negara lain terus bergerak maju dengan
rasio, kita semakin terbelakang dengan sentimen emosi.
Yuda Indra, S. I.kom
Koordinator Kebijakan Publik Kesatuan Aksi Mahasiswa
Muslim Indonesia Daerah Riau

SURAT KALENG UNTUK CAGUBRI (Pelajaran dari Pilgub Jabar dan Sumut)

Euforia demokrasi telah beresonansi ke seantero tanah air. Beberapa daerah sudah menggelar perhelatan akbar tersebut. Terakhir yang mengemuka yaitu pemilihan gubernur Jawa Barat dan Sumatera Utara. Meski hasil perhitungan belum final, dari hasil quick count yang dilakukan oleh beberapa lembaga survey telah mengumumkan pasangan Cagub dan Cawagub Jabar Ahmad Heryawan-Dede Yusuf (Hade) dan Sumut Syamsul Arifin-Gatot Pujo Nugroho keluar sebagai pemenang. Akan tetapi, dalam kesempatan ini penulis tidak akan menyorot tentang perolehan angka dan kontroversi seputar pengumuman pada kedua Pilgub itu. Sebab, hal tersebut merupakan konsekuensi dan produk dari proses; hasil tahapan situasi; sebuah konsekuensi logis dari kombinasi sistematika pencapaian dengan probabilitas dalam matra geososial dan politik. Yang menurut hemat penulis, perolehan angka bukanlah referensi absolut untuk menilai sebuah kemenangan.

Lebih dari sekedar pesta demokrasi, Pilgub Jabar dan Sumut menyajikan cerita-cerita fenomenal dan penuh kejutan. Kesimpulan inilah yang juga mengemuka berbagai pihak, baik dikalangan pengamat maupun media massa. Setidaknya ada beberapa point of interest di seputar dua suksesi ini: pertama, pemeo bahwa calon incumbent mempunyai garansi untuk memenangkan sebuah pemilihan agaknya tak lagi berlaku. Kedua, mulai berubahnya pola pilihan masyarakat dalam memilih latar belakang paket calon pemimpin, dari pola yang konservatif ke pola yang lebih mengedepankan pencarian alternatif. Dan ketiga, betapa masyarakat tidak lagi tunduk pada nilai historis dan popularitas partai politik semata -plus dukungan kemapanan finansial sebagai bahan bakar mesin politik.Namun juga melihat pada siapa yang benar-benar merakyat. Indikator konkritnya dapat dilihat seberapa banyak partai bersangkutan mendayagunakan mesin sosial politiknya lewat program-program yang menyentuh lansung kondisi riil masyarakat. Bukan saat menjelang kampanye saja; pemajangan atribut-atribut imaging saat pembagian sembako gratis dan di persimpangan jalan.

Incumbent

Meski masih sementara, kekalahan yang diperoleh oleh para incumbent dan Parpol besar di Pilgub Jabar dan Sumut, seharusnya dapat dijadikan preseden di Pilgubri 2008 -sebagaimana yang telah banyak diperbincangkan di media massa, Pilbgubri 2008 kemungkinan besar akan diramaikan dengan calon incumbent. Preseden yang dapat berintrepretasi ganda: positif dan negatif. Positifnya, bagi incumbent, "kekalahan" tersebut seyogyanya dapat dijadikan rekomendasi-rekomendasi, guna merubah gaya kepemimpinan yang dianut para calon incumbent di Pilgubri 2008. Sedangkan bagi Parpol, lebih ditekankan lagi untuk dapat mengembalikan paradigma penginterpretasian fungsi Parpol ke koridornya, yang menurut akademisi dan pengamat telah jauh dari sisi idealnya -tentunya jika masih berkeinginan untuk bertarung di arena pemilihan. Sedangkan negatifnya, calon incumbent dan Parpol pendukungnya mempunyai peluang besar untuk tersingkir, terlebih ketika selama masa pemerintahan incumbent hanya menyisakan kekecewaan di lapisan akar rumput dan kesejahteraan kelompok yang mendukungnya.

Walaupun Pilgub Jabar mempunyai realita kondisi yang berbeda -dimana, masyarakat yang bermastautin di Jabar cenderung mempunyai latar belakang pendidikan yang lebih baik dibanding daerah luar- diyakini sedikit atau banyak akan menularkan difusi efek psikografis secara nasional. Konsekuensinya, ketika para calon incumbent ikut bertarung di Pilgubri 2008, sebagian besar masyarakat secara sederhana akan dapat membuat preferensi dan kemudian melakukan evaluasi dini terhadap calon yang dimaksud. Walaupun metode tersebut cenderung prematur. Namun inilah karakteristik psikologi massa, dimana generalisasi dan budaya thinking with the exclude middle factor telah mendarahdaging. Sehingga mungkin saja para calon incumbent dan Parpol pendukungnya akan mengalami tantangan besar dalam mendulang suara masyarakat Riau di Pilgubri 2008, meski jauh-jauh hari -selama masa pemerintahannya- telah menjual wajah di sana-sini dengan menggunakan berbagai perantara media.

Calon Alternatif

Masalah pola pilihan pemilih agaknya selalu menjadi pertanyaan observatif yang selalu misterius. Di kalangan para akademisi, telah bejibun banyaknya penelitian yang dilakukan untuk menguak pola pikir dan pola sikap manusia yang serba relatif, terutama terkait dengan pola pilihan terhadap calon pemimpin dan Parpol. Dan, apakah pola pilihan masyarakat ini ditentukan secara otoritatif oleh individu, kelompok atau intervensi elemen eksternal? Juga masih berujung pada teori-teori yang dangkal. Semua kalimat interogatif tadi memberikan deskripsi awal, betapa dalam politik diperlukan kecakapan yang mumpuni untuk menganalisis sisi psikografis masyarakat dan menjawab masalah mereka melalui pendekatan emosional.

Pilgub Jabar dan Sumut adalah studi kasus yang sangat tepat dalam menguraikan fenomenologi seputar geo sosial dan politik tanah air ke depannya. Siapa yang menyangka, pasangan Hade yang hanya bermodal dukungan dua partai -PKS dan PAN- berhasil mempecundangi koalisi partai-partai yang terkategori besar. Dan, yang lebih mengejutkan lagi pada Pilgub Sumut. Siapa pula yang menyangka pasangan Syamsul-Gatot mampu memutarbalikkan hasil prediksi, baik secara kuantitatif dan kualitatif, dari berbagai pengamat dan lembaga survey -beberapa pengamat dan lembaga survey mengatakan bahwa kemenangan di Jabar dipengaruhi sosok populer Dede Yusuf. Namun bagaimana dengan di Sumut? Apa kuncinya? Jawaban singkat untuk menjelaskan fenomena ini adalah bahwa semua ini tentu bukan dikarenakan efek faktor kebetulan -sebab, tak ada satupun di muka bumi ini yang diproduksi dari teorema murahan berbungkus istilah ketidaksengajaan. Artinya, ada pemanfaatan dan pengelolaan probabilitas di dua Pilgub tersebut.

Masih bersinggungan dengan persoalan analisis psikologi massa pemilih, ada satu hal pasti yang membuat lanskap pola pilihan seseorang dapat berubah seketika. Satu hal tersebut diproduksi dari, meminjam istilah dalam aliran yang berkembang di Chigago pada pertengahan periode perang dunia, "interaksionisme simbolik" (Parsons, 2004). Penjelasan dari aliran ini, menurut sosiolog Blumer, bahwasanya manusia bertindak berdasarkan hasil interaksi sosial. Berdasarkan asumsi ini, individu masyarakat berpotensi untuk merubah pilihan mereka berdasarkan variabel keadaan di sekelilingnya dan kebutuhan. Artinya, jika kepuasan masyarakat terhadap pemimpin dan mediannya memasuki fase anti klimaks, maka masyarakat dengan barometer alamiahnya akan menghasilkan sebuah rekomendasi yang revolusioner, dengan memilih alternatif sosok pemimpin lainnya. Inilah asumsi kuat untuk Pilgub Jabar dan Sumut.

Disfungsi

Sudah acapkali terdengar oleh kita, setiap pemilihan kepala daerah bahkan kepala negara, tidak lengkap tanpa ada praktik money politic. Kitsch politic, begitu istilah kerennya. Praktik yang dilegalkan dalam kamus Machievelianisme ini, merupakan bentuk manifestasi ketidakmampuan pelakunya dalam membendung reaksi di luar dirinya. Dalam konteks suksesi, praktik ini bisa jadi lahir dari impotensi mesin politik tim sukses dan atau Parpol. Khusus Parpol, sudah menjadi pemandangan umum, sebagian besar hanya memanaskan mesinnya ketika menjelang ajang pemilihan. Padahal, Parpol mempunyai fungsi yang lebih mulia daripada aktivitas murahan tersebut -dalam model piramida sosial, Parpol salah satu penghubung antara suprastruktur politik dan infrastruktur; elit dan konstituennya. Alhasil, implikasi dari fenomena ini, Parpol tak jarang hanya mementingkan kepentingan stockholder tertentu di lingkaran partai, daripada masyarakat atau konstituennya.

Disfungsi dan disorientasi para calon dan Parpol yang mendukungnya saat telah terpilih, secara bertahap akan mempengaruhi psikografi masyarakat. Untuk itu, pada Pilgubri 2008, para calon pemimpin dan Parpol diharapkan dapat menghentikan segala bentuk kampanye dan sosialisasi, yang lebih mengedepankan upaya pembodohan terselubung daripada pencerdasan masyarakat. Karena, bukan tanpa alasan, upaya yang hanya peduli pada pencitraan tanpa mau repot-repot ikut dalam upaya moral recovery bagi masyarakat, perlahan tapi pasti akan berdampak pada perubahan paradigma secara otodidak maupun lewat stimulus terhadap individu masyarakat. Pada akhirnya, masyarakat akan mencari alternatif lain yang diharapkan dapat memperjuangkan aspirasi mereka.

Yuda Indra, S. Ikom. Koordinator Dept.Kebijakan Publik Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia Daerah Riau

Dimuat di Riau Pos edisi 30 April 2008

PREDIKSI DELEGITIMASI PILGUBRI (dimuat di Riau Pos Edisi 14/8/2008)

Pelaksanaan Pemilihan gubernur Riau (Pilgubri) tak berapa lama lagi. Jika tak ada aral yang menghadang, sedianya sesuai jadwal yang telah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Riau, hari H (pemungutan suara) akan dilaksanakan pada 22 September. Namun, hingga saat ini, penulis merasa masih ada sesuatu hal yang mengganjal proses Pilgub ini. Terutama terkait proses mewujudkan nilai ideal berupa dukungan maksimal dari masyarakat Riau. Konkritnya, ini mengarah kepada seberapa besar partisipasi masyarakat dalam memilih pemimpin mereka ke depannya.

Menurut khazanah demokrasi, masyarakat adalah subjek. Sebagaimana Aristoteles pernah menyinggung pada karya magnum opus-nya La Politic, masyarakat dalam konteks demokrasi dapat diumpamakan seperti seorang pembuat seruling. Sedangkan pemerintah dan pemimpin mereka hanyalah peniup seruling. Sehingga, wajar jika kita sering mendapati slogan ditujukan dari, untuk dan oleh rakyat (Aristoteles, 2006). Konsekuensinya dari ide dan gagasan ini tentunya berlaku pada pembukaan akses sebesar-besarnya bagi masyarakat dalam memilih siapa pemimpinnya. Namun, ketika kita mengarahkan pandangan pada kontes kekinian, demokrasi tak lebih dari sekedar eufimisme yang sering latah diucapkan para politisi tak bermoral. Tujuannya, tentu saja demi menggapai tujuan pribadi.

Kembali ke pokok persoalan, jika kita melihat persiapan dari Pilgubri itu sendiri, ada sesuatu yang pantas untuk dikhawatirkan. Ini dikarenakan kuatnya sinyalemen probabilitas akan semakin rendah partisipasi masyarakat untuk memberikan suaranya. Melihat dari data yang dimiliki KPU Riau, berdasarkan Data Pemilih Tetap (DPT) yang telah ditetapkan, jumlah pemilih yang terdaftar adalah sebanyak 3,219,478 pemilih –data ini masih belum final, dikarenakan belum adanya keputusan soal sengketa di lima desa yang melibatkan Kabupaten Rokan Hulu dan Kabupaten Kampar. Jumlah ini berkurang jika dibandingkan dengan data di KPUD untuk tahun 2007, dengan jumlah pemilih yang terdaftar adalah sebanyak 4,525,391 pemilih. Secara eksplisit ada selisih jumlah yang cukup signifikan dengan pemilih untuk Pilgubri 2008, dimana terdapat 1,319,542 pemilih. Apakah selisih ini di dalamnya pemilih yang tak mendapatkan lagi haknya karena beberapa sebab: meninggal dunia, pindah atau lain-lainnya,wallahualam. Terlepas dari itu semua, ini sebuah selisih jumlah yang jauh dari harapan untuk Pilgubri 2008 yakni berupa peningkatan jumlah pemilih. Terlebih apabila didasarkan pada jumlah masyarakat Riau sendiri berdasarkan data penduduk saat ini berjumlah 4,792,520 jiwa.

Rendahnya tingkat partisipasi masyarakat dalam memilih di Pilgubri nantinya, secara langsung akan mempengaruhi dukungan terhadap pemimpin Riau ke depannya. Adapun yang berpotensi untuk dipersalahkan ketika partisipasi tersebut rendah, tentu saja perangkat-perangkat baik dalam penyelenggaran Pilgubri itu sendiri maupun yang turut serta. Seyogyanya, setiap pribadi masyarakat yang sudah memenuhi kriteria untuk memilih memperoleh haknya sebagaimana mestinya. Namun keseringan yang terjadi sekarang, akses untuk memperoleh itu cenderung dihalang-halangi dengan berbagai dalih administratif yang tampak dibuat-buat oleh pihak-pihak terkait. Bahkan salah satu kasus, di daerah penulis menetap, pernah salah seorang ketua RT tidak memberikan kartu pemilih dengan alasan yang tak masuk akal. Padahal, secara administratif dan kriteria sudah dipenuhi semua.

Politisasi Suara Rakyat

Hal yang tak termaafkan lainnya yang kerap kali mewarnai proses demokrasi, adalah politisasi suara rakyat. Tak terkecuali dalam penyelenggaraan Pilgubri kali ini. Salah satu contoh terdekat dan riil adalah pada kasus sengketa di 5 desa (Desa Intan Jaya, Muara Intan, Rimba Makmur, Rimba Jaya dan Tanah Datar) yang melibatkan dua kabupaten yang saling berbatasan yakni Rohul dan Kampar yang hingga saat ini masih konfrontasi. Lebih dari persoalan laten, yakni perbatasan –sebagaimana yang ramai dipeributkan- sengketa di 5 desa mempunyai vested interest lain. Malah gamblang, bahwa sengketa ini lebih pada sengketa antara elit Pemerintah daerah daripada masyarakatnya. Buktinya, dari hasil laporan tim bentukan KPU Riau yang diterjunkan untuk meneliti secara langsung di 5 desa pada 11-16 Juli 2008, diperoleh temuan bahwasanya sebagian besar masyarakat tak mempersoalkan kabupaten mana yang akan ditunjuk.

Dengan begitu, tak heran mengapa perdebatan soal sengketa ini menjadi hangat kembali belakangan dan menjelang Pilgubri ini. Asumsinya hanya satu, persoalan siapa yang punya kepentingan. Relevansinya dengan Pilgub, berdasarkan informasi yang diperoleh baik dari rekan pers dan masyarakat tempatan, jelas ini terkait dengan perolehan suara pemilih atau masyarakat nantinya. Dalam perkembangan terkini terkait penyelesaian sengketa 5 desa ini belum menunjukkan arah penyelesaian yang jelas. Masing-masing pihak keukeuh dengan solusinya. Dari sekian banyak solusi yang ditawarkan, yang tampak baru sekumpulan kamuflase politik semata.

Delegitimasi

Sejauhmana relevansi jumlah dukungan masyarakat terhadap legitimasi si pemimpin dalam proses demokrasi, yang salah satunya pada pemilihan kepala dan wakil kepala daerah? Menurut hemat penulis tentu sangat berelevansi. Soal sejauhmana, hal ini dapat dilihat pada keterdukungan masyarakat saat Gubernur terpilih menjalankan amanahnya. Semakin banyak masyarakat yang menyerahkan suaranya terhadap pemimpinnya, maka aksiomatis dapat dikatakan si pemimpin mempunyai nilai potensial untuk lebih dapat meyakinkan pemilihnya berupa komitmen program-program kerjanya direalisasikan. Begitu juga, logika sama yang sama berlaku ketika pemilih salah seorang calon sedikit.

Bersinergi dengan pandangan di atas, ilmuwan sosial barat Wayne Parsons Pada bukunya yang berjudul Public Policy, telah menjabarkan bahwa ketika sebuah sistem tidak didukung dari lingkungan primernya (intra societal environment) maka berkemungkinan besar sistem tersebut akan terganggu hingga pada level dimana posisinya bahkan bisa stagnasi (Parsons, 2004). Dengan demikian, sekali lagi, faktor rendah atau tingginya partisipasi masyarakat akan mempengaruhi jalannya sebuah pemerintahan yang lahir dari proses Pilgub ini nantinya. Dan, tidak hanya terhadap pemimpin dan pemerintahan yang terpilih saja akan mengalami delegitimasi, namun sebelum itu, juga pada Pilgubri ini.

Yuda Indra, S.I.Kom, Kepala Departemen Kebijakan Publik, Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Daerah Riau


SPIRIT DAKWAH