Sabtu, 06 September 2008

SURAT KALENG UNTUK CAGUBRI (Pelajaran dari Pilgub Jabar dan Sumut)

Euforia demokrasi telah beresonansi ke seantero tanah air. Beberapa daerah sudah menggelar perhelatan akbar tersebut. Terakhir yang mengemuka yaitu pemilihan gubernur Jawa Barat dan Sumatera Utara. Meski hasil perhitungan belum final, dari hasil quick count yang dilakukan oleh beberapa lembaga survey telah mengumumkan pasangan Cagub dan Cawagub Jabar Ahmad Heryawan-Dede Yusuf (Hade) dan Sumut Syamsul Arifin-Gatot Pujo Nugroho keluar sebagai pemenang. Akan tetapi, dalam kesempatan ini penulis tidak akan menyorot tentang perolehan angka dan kontroversi seputar pengumuman pada kedua Pilgub itu. Sebab, hal tersebut merupakan konsekuensi dan produk dari proses; hasil tahapan situasi; sebuah konsekuensi logis dari kombinasi sistematika pencapaian dengan probabilitas dalam matra geososial dan politik. Yang menurut hemat penulis, perolehan angka bukanlah referensi absolut untuk menilai sebuah kemenangan.

Lebih dari sekedar pesta demokrasi, Pilgub Jabar dan Sumut menyajikan cerita-cerita fenomenal dan penuh kejutan. Kesimpulan inilah yang juga mengemuka berbagai pihak, baik dikalangan pengamat maupun media massa. Setidaknya ada beberapa point of interest di seputar dua suksesi ini: pertama, pemeo bahwa calon incumbent mempunyai garansi untuk memenangkan sebuah pemilihan agaknya tak lagi berlaku. Kedua, mulai berubahnya pola pilihan masyarakat dalam memilih latar belakang paket calon pemimpin, dari pola yang konservatif ke pola yang lebih mengedepankan pencarian alternatif. Dan ketiga, betapa masyarakat tidak lagi tunduk pada nilai historis dan popularitas partai politik semata -plus dukungan kemapanan finansial sebagai bahan bakar mesin politik.Namun juga melihat pada siapa yang benar-benar merakyat. Indikator konkritnya dapat dilihat seberapa banyak partai bersangkutan mendayagunakan mesin sosial politiknya lewat program-program yang menyentuh lansung kondisi riil masyarakat. Bukan saat menjelang kampanye saja; pemajangan atribut-atribut imaging saat pembagian sembako gratis dan di persimpangan jalan.

Incumbent

Meski masih sementara, kekalahan yang diperoleh oleh para incumbent dan Parpol besar di Pilgub Jabar dan Sumut, seharusnya dapat dijadikan preseden di Pilgubri 2008 -sebagaimana yang telah banyak diperbincangkan di media massa, Pilbgubri 2008 kemungkinan besar akan diramaikan dengan calon incumbent. Preseden yang dapat berintrepretasi ganda: positif dan negatif. Positifnya, bagi incumbent, "kekalahan" tersebut seyogyanya dapat dijadikan rekomendasi-rekomendasi, guna merubah gaya kepemimpinan yang dianut para calon incumbent di Pilgubri 2008. Sedangkan bagi Parpol, lebih ditekankan lagi untuk dapat mengembalikan paradigma penginterpretasian fungsi Parpol ke koridornya, yang menurut akademisi dan pengamat telah jauh dari sisi idealnya -tentunya jika masih berkeinginan untuk bertarung di arena pemilihan. Sedangkan negatifnya, calon incumbent dan Parpol pendukungnya mempunyai peluang besar untuk tersingkir, terlebih ketika selama masa pemerintahan incumbent hanya menyisakan kekecewaan di lapisan akar rumput dan kesejahteraan kelompok yang mendukungnya.

Walaupun Pilgub Jabar mempunyai realita kondisi yang berbeda -dimana, masyarakat yang bermastautin di Jabar cenderung mempunyai latar belakang pendidikan yang lebih baik dibanding daerah luar- diyakini sedikit atau banyak akan menularkan difusi efek psikografis secara nasional. Konsekuensinya, ketika para calon incumbent ikut bertarung di Pilgubri 2008, sebagian besar masyarakat secara sederhana akan dapat membuat preferensi dan kemudian melakukan evaluasi dini terhadap calon yang dimaksud. Walaupun metode tersebut cenderung prematur. Namun inilah karakteristik psikologi massa, dimana generalisasi dan budaya thinking with the exclude middle factor telah mendarahdaging. Sehingga mungkin saja para calon incumbent dan Parpol pendukungnya akan mengalami tantangan besar dalam mendulang suara masyarakat Riau di Pilgubri 2008, meski jauh-jauh hari -selama masa pemerintahannya- telah menjual wajah di sana-sini dengan menggunakan berbagai perantara media.

Calon Alternatif

Masalah pola pilihan pemilih agaknya selalu menjadi pertanyaan observatif yang selalu misterius. Di kalangan para akademisi, telah bejibun banyaknya penelitian yang dilakukan untuk menguak pola pikir dan pola sikap manusia yang serba relatif, terutama terkait dengan pola pilihan terhadap calon pemimpin dan Parpol. Dan, apakah pola pilihan masyarakat ini ditentukan secara otoritatif oleh individu, kelompok atau intervensi elemen eksternal? Juga masih berujung pada teori-teori yang dangkal. Semua kalimat interogatif tadi memberikan deskripsi awal, betapa dalam politik diperlukan kecakapan yang mumpuni untuk menganalisis sisi psikografis masyarakat dan menjawab masalah mereka melalui pendekatan emosional.

Pilgub Jabar dan Sumut adalah studi kasus yang sangat tepat dalam menguraikan fenomenologi seputar geo sosial dan politik tanah air ke depannya. Siapa yang menyangka, pasangan Hade yang hanya bermodal dukungan dua partai -PKS dan PAN- berhasil mempecundangi koalisi partai-partai yang terkategori besar. Dan, yang lebih mengejutkan lagi pada Pilgub Sumut. Siapa pula yang menyangka pasangan Syamsul-Gatot mampu memutarbalikkan hasil prediksi, baik secara kuantitatif dan kualitatif, dari berbagai pengamat dan lembaga survey -beberapa pengamat dan lembaga survey mengatakan bahwa kemenangan di Jabar dipengaruhi sosok populer Dede Yusuf. Namun bagaimana dengan di Sumut? Apa kuncinya? Jawaban singkat untuk menjelaskan fenomena ini adalah bahwa semua ini tentu bukan dikarenakan efek faktor kebetulan -sebab, tak ada satupun di muka bumi ini yang diproduksi dari teorema murahan berbungkus istilah ketidaksengajaan. Artinya, ada pemanfaatan dan pengelolaan probabilitas di dua Pilgub tersebut.

Masih bersinggungan dengan persoalan analisis psikologi massa pemilih, ada satu hal pasti yang membuat lanskap pola pilihan seseorang dapat berubah seketika. Satu hal tersebut diproduksi dari, meminjam istilah dalam aliran yang berkembang di Chigago pada pertengahan periode perang dunia, "interaksionisme simbolik" (Parsons, 2004). Penjelasan dari aliran ini, menurut sosiolog Blumer, bahwasanya manusia bertindak berdasarkan hasil interaksi sosial. Berdasarkan asumsi ini, individu masyarakat berpotensi untuk merubah pilihan mereka berdasarkan variabel keadaan di sekelilingnya dan kebutuhan. Artinya, jika kepuasan masyarakat terhadap pemimpin dan mediannya memasuki fase anti klimaks, maka masyarakat dengan barometer alamiahnya akan menghasilkan sebuah rekomendasi yang revolusioner, dengan memilih alternatif sosok pemimpin lainnya. Inilah asumsi kuat untuk Pilgub Jabar dan Sumut.

Disfungsi

Sudah acapkali terdengar oleh kita, setiap pemilihan kepala daerah bahkan kepala negara, tidak lengkap tanpa ada praktik money politic. Kitsch politic, begitu istilah kerennya. Praktik yang dilegalkan dalam kamus Machievelianisme ini, merupakan bentuk manifestasi ketidakmampuan pelakunya dalam membendung reaksi di luar dirinya. Dalam konteks suksesi, praktik ini bisa jadi lahir dari impotensi mesin politik tim sukses dan atau Parpol. Khusus Parpol, sudah menjadi pemandangan umum, sebagian besar hanya memanaskan mesinnya ketika menjelang ajang pemilihan. Padahal, Parpol mempunyai fungsi yang lebih mulia daripada aktivitas murahan tersebut -dalam model piramida sosial, Parpol salah satu penghubung antara suprastruktur politik dan infrastruktur; elit dan konstituennya. Alhasil, implikasi dari fenomena ini, Parpol tak jarang hanya mementingkan kepentingan stockholder tertentu di lingkaran partai, daripada masyarakat atau konstituennya.

Disfungsi dan disorientasi para calon dan Parpol yang mendukungnya saat telah terpilih, secara bertahap akan mempengaruhi psikografi masyarakat. Untuk itu, pada Pilgubri 2008, para calon pemimpin dan Parpol diharapkan dapat menghentikan segala bentuk kampanye dan sosialisasi, yang lebih mengedepankan upaya pembodohan terselubung daripada pencerdasan masyarakat. Karena, bukan tanpa alasan, upaya yang hanya peduli pada pencitraan tanpa mau repot-repot ikut dalam upaya moral recovery bagi masyarakat, perlahan tapi pasti akan berdampak pada perubahan paradigma secara otodidak maupun lewat stimulus terhadap individu masyarakat. Pada akhirnya, masyarakat akan mencari alternatif lain yang diharapkan dapat memperjuangkan aspirasi mereka.

Yuda Indra, S. Ikom. Koordinator Dept.Kebijakan Publik Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia Daerah Riau

Dimuat di Riau Pos edisi 30 April 2008

Tidak ada komentar:

SPIRIT DAKWAH