Sabtu, 06 September 2008

PREDIKSI DELEGITIMASI PILGUBRI (dimuat di Riau Pos Edisi 14/8/2008)

Pelaksanaan Pemilihan gubernur Riau (Pilgubri) tak berapa lama lagi. Jika tak ada aral yang menghadang, sedianya sesuai jadwal yang telah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Riau, hari H (pemungutan suara) akan dilaksanakan pada 22 September. Namun, hingga saat ini, penulis merasa masih ada sesuatu hal yang mengganjal proses Pilgub ini. Terutama terkait proses mewujudkan nilai ideal berupa dukungan maksimal dari masyarakat Riau. Konkritnya, ini mengarah kepada seberapa besar partisipasi masyarakat dalam memilih pemimpin mereka ke depannya.

Menurut khazanah demokrasi, masyarakat adalah subjek. Sebagaimana Aristoteles pernah menyinggung pada karya magnum opus-nya La Politic, masyarakat dalam konteks demokrasi dapat diumpamakan seperti seorang pembuat seruling. Sedangkan pemerintah dan pemimpin mereka hanyalah peniup seruling. Sehingga, wajar jika kita sering mendapati slogan ditujukan dari, untuk dan oleh rakyat (Aristoteles, 2006). Konsekuensinya dari ide dan gagasan ini tentunya berlaku pada pembukaan akses sebesar-besarnya bagi masyarakat dalam memilih siapa pemimpinnya. Namun, ketika kita mengarahkan pandangan pada kontes kekinian, demokrasi tak lebih dari sekedar eufimisme yang sering latah diucapkan para politisi tak bermoral. Tujuannya, tentu saja demi menggapai tujuan pribadi.

Kembali ke pokok persoalan, jika kita melihat persiapan dari Pilgubri itu sendiri, ada sesuatu yang pantas untuk dikhawatirkan. Ini dikarenakan kuatnya sinyalemen probabilitas akan semakin rendah partisipasi masyarakat untuk memberikan suaranya. Melihat dari data yang dimiliki KPU Riau, berdasarkan Data Pemilih Tetap (DPT) yang telah ditetapkan, jumlah pemilih yang terdaftar adalah sebanyak 3,219,478 pemilih –data ini masih belum final, dikarenakan belum adanya keputusan soal sengketa di lima desa yang melibatkan Kabupaten Rokan Hulu dan Kabupaten Kampar. Jumlah ini berkurang jika dibandingkan dengan data di KPUD untuk tahun 2007, dengan jumlah pemilih yang terdaftar adalah sebanyak 4,525,391 pemilih. Secara eksplisit ada selisih jumlah yang cukup signifikan dengan pemilih untuk Pilgubri 2008, dimana terdapat 1,319,542 pemilih. Apakah selisih ini di dalamnya pemilih yang tak mendapatkan lagi haknya karena beberapa sebab: meninggal dunia, pindah atau lain-lainnya,wallahualam. Terlepas dari itu semua, ini sebuah selisih jumlah yang jauh dari harapan untuk Pilgubri 2008 yakni berupa peningkatan jumlah pemilih. Terlebih apabila didasarkan pada jumlah masyarakat Riau sendiri berdasarkan data penduduk saat ini berjumlah 4,792,520 jiwa.

Rendahnya tingkat partisipasi masyarakat dalam memilih di Pilgubri nantinya, secara langsung akan mempengaruhi dukungan terhadap pemimpin Riau ke depannya. Adapun yang berpotensi untuk dipersalahkan ketika partisipasi tersebut rendah, tentu saja perangkat-perangkat baik dalam penyelenggaran Pilgubri itu sendiri maupun yang turut serta. Seyogyanya, setiap pribadi masyarakat yang sudah memenuhi kriteria untuk memilih memperoleh haknya sebagaimana mestinya. Namun keseringan yang terjadi sekarang, akses untuk memperoleh itu cenderung dihalang-halangi dengan berbagai dalih administratif yang tampak dibuat-buat oleh pihak-pihak terkait. Bahkan salah satu kasus, di daerah penulis menetap, pernah salah seorang ketua RT tidak memberikan kartu pemilih dengan alasan yang tak masuk akal. Padahal, secara administratif dan kriteria sudah dipenuhi semua.

Politisasi Suara Rakyat

Hal yang tak termaafkan lainnya yang kerap kali mewarnai proses demokrasi, adalah politisasi suara rakyat. Tak terkecuali dalam penyelenggaraan Pilgubri kali ini. Salah satu contoh terdekat dan riil adalah pada kasus sengketa di 5 desa (Desa Intan Jaya, Muara Intan, Rimba Makmur, Rimba Jaya dan Tanah Datar) yang melibatkan dua kabupaten yang saling berbatasan yakni Rohul dan Kampar yang hingga saat ini masih konfrontasi. Lebih dari persoalan laten, yakni perbatasan –sebagaimana yang ramai dipeributkan- sengketa di 5 desa mempunyai vested interest lain. Malah gamblang, bahwa sengketa ini lebih pada sengketa antara elit Pemerintah daerah daripada masyarakatnya. Buktinya, dari hasil laporan tim bentukan KPU Riau yang diterjunkan untuk meneliti secara langsung di 5 desa pada 11-16 Juli 2008, diperoleh temuan bahwasanya sebagian besar masyarakat tak mempersoalkan kabupaten mana yang akan ditunjuk.

Dengan begitu, tak heran mengapa perdebatan soal sengketa ini menjadi hangat kembali belakangan dan menjelang Pilgubri ini. Asumsinya hanya satu, persoalan siapa yang punya kepentingan. Relevansinya dengan Pilgub, berdasarkan informasi yang diperoleh baik dari rekan pers dan masyarakat tempatan, jelas ini terkait dengan perolehan suara pemilih atau masyarakat nantinya. Dalam perkembangan terkini terkait penyelesaian sengketa 5 desa ini belum menunjukkan arah penyelesaian yang jelas. Masing-masing pihak keukeuh dengan solusinya. Dari sekian banyak solusi yang ditawarkan, yang tampak baru sekumpulan kamuflase politik semata.

Delegitimasi

Sejauhmana relevansi jumlah dukungan masyarakat terhadap legitimasi si pemimpin dalam proses demokrasi, yang salah satunya pada pemilihan kepala dan wakil kepala daerah? Menurut hemat penulis tentu sangat berelevansi. Soal sejauhmana, hal ini dapat dilihat pada keterdukungan masyarakat saat Gubernur terpilih menjalankan amanahnya. Semakin banyak masyarakat yang menyerahkan suaranya terhadap pemimpinnya, maka aksiomatis dapat dikatakan si pemimpin mempunyai nilai potensial untuk lebih dapat meyakinkan pemilihnya berupa komitmen program-program kerjanya direalisasikan. Begitu juga, logika sama yang sama berlaku ketika pemilih salah seorang calon sedikit.

Bersinergi dengan pandangan di atas, ilmuwan sosial barat Wayne Parsons Pada bukunya yang berjudul Public Policy, telah menjabarkan bahwa ketika sebuah sistem tidak didukung dari lingkungan primernya (intra societal environment) maka berkemungkinan besar sistem tersebut akan terganggu hingga pada level dimana posisinya bahkan bisa stagnasi (Parsons, 2004). Dengan demikian, sekali lagi, faktor rendah atau tingginya partisipasi masyarakat akan mempengaruhi jalannya sebuah pemerintahan yang lahir dari proses Pilgub ini nantinya. Dan, tidak hanya terhadap pemimpin dan pemerintahan yang terpilih saja akan mengalami delegitimasi, namun sebelum itu, juga pada Pilgubri ini.

Yuda Indra, S.I.Kom, Kepala Departemen Kebijakan Publik, Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Daerah Riau


1 komentar:

admin mengatakan...

Penuturan Orang No 1 Di Kabupaten Rokan Hilir Soal Cagubri
Suyatno : Jika Di Beri Kesempatan, Kita Siap!

Rohil (nusapos.com)-Terkait Orang No 1 di Kabupaten Rokan Hilir ini, sebut saja H Suyatno maju sebagai Calon No 2 (Cawagubri) di Propinsi Riau mendamping H. Arsyadjuliandi Rachman, M.B.A.Gubernur Riau sebagai Cagubri dan Cawagubri 2018 mendatang, sebagaimana yang telah di isu-isukan oleh masyarakat Riau.


Dirinya ( H Suyatno ) Bupati Kab.Rohil yang dijumpai 2 (dua) Pemimpin Redaksi dan awak media Online Pekanbaru (RiauInvestigasi.Com,Cebernews.Com dan Nusapos.Com,red) di kediamannya yang berlokasikan Jl Madrasah Kota Bagansiapiapi Kab.Rohil, Kamis (7/12/2017). Menuturkan, “ Terkait hal maju tidaknya saya selaku Wakil Gubernur Riau (Cawagubri) pada tahun 2018 nantinya, itu

baca selengkapnya di http://nusapos.com/2017-12-08/suyatno-jika-di-beri-kesempatan-kita-siap

SPIRIT DAKWAH