Sabtu, 06 September 2008

KEBANGKITAN INDIVIDUAL DAN KEBANGKITAN NASIONAL (Memperingati Hari Kebangkitan Nasional)

Gelora cinta kebangsaan bergaung di seantero tanah
air. Semua ditujukan dalam rangka memperingati 100
tahun kebangkitan nasional. Untuk itu, berbagai bentuk
seremonialpun digelar. Namun kebanyakan cenderung
berupa seremonial, tanpa menyisakan dampak
kontemplatif. Dan, tak salah kiranya jika negeri ini
dijuluki negeri kaum selebriti. Karena, mental
manusianya yang kebanyakan doyan merayakan dan
menggelar perhelatan -jenis penyakit yang mungkin bisa
disebut dengan "selebritis obsesif kompulsif". Tak
banyak pastinya manfaat yang diperoleh ketika sifat
seperti ini dipelihara. Hanya sekedar merayakan, cepat
pula melupakan.
Jika diukur dari kacamata peradaban, bangsa ini bisa
jadi sedang dan akan mengalami fase yang paling
penting dalam literasi sejarahnya -hal ini didasarkan
pada teori pegas yang mengatakan bahwa sesuatu yang
terus tertekan lambat laun akan melakukan reaksi
sebaliknya. Harapan akan adanya momen perubahan
bukanlah pepesan kosong belaka. Memang, jika melihat
pada kajian global, tak banyak yang berminat
memprediksi peran Indonesia ke depannya. Termasuk pada
karya editor Newsweek, Fareed Zakaria, yang berjudul
The Beginning of The Post-American World. Pada buku
yang hangat diperbincangkan belakangan di media massa
internasional ini, sama sekali tidak ada pembahasan
akan peran Indonesia dalam konstelasi global. Begitu
juga dalam catatan para pengamat asing, Indonesia tak
lebih dari sebuah negeri yang penuh ironi: kaya tapi
banyak rakyatnya yang miskin; kaya tapi berhutang;
banyak penduduk tapi tidak produktif dan berbagai
anomali lainnya.
Meskipun demikian, banyak hal yang luput dari tatapan
mata para pengamat dan ilmuwan. Hal ini dikarenakan
dominasi mereka yang memandang potensi progresivitas
sebuah negara dari indikator-indikator daripada pada
variabel yang berkembang. Sehingga tak heran dalam
judul buku yang telah disinggung tadi dan beberapa
buku sejenis, penulis menggunakan elemen-elemen
keunggulan fisik untuk menyimpulkan siapa pewaris
tahta pos Amerika Serikat dan negara Barat umumnya.
Flashback jauh sebelum si editor tadi bermain dengan
prediksi futuristiknya, Ibnu Khaldun, seorang sosiolog
yang berpengaruh di kalangan ilmuwan kontemporer,
telah memberi panduan bagaimana memprediksi masa depan
suatu bangsa dan peradaban. Sebagaimana ulasan seorang
akademisi berkebangsaan Eropa, George Katsiafikas,
pada karya ilmiahnya "Ibnu Khaldun: A Dialectical
Philosopher for The New Millenium". Menurutnya, Ibnu
Khaldun telah meletakkan pondasi ilmiah dalam
menentukan nasib peradaban dunia pada tempat yang
substantif dan tak terbantahkan. Berbeda dari
kebanyakan ilmuwan, Ibnu Khaldun, sebagaimana yang
telah tertuang dalam magnum opus-nya Muqaddimah,
memandang kebangkitan sebuah bangsa pada tataran
manusianya.
Kebangkitan Individu
Jika kita melihat kondisi kebanyakan manusia
Indonesia sekarang, maka tak heran sikap skeptisme
akan menjadi pilihan ketika kalimat Indonesia bangkit
digelorakan. Fenomena moral hazard yang menjamur
menyimpulkan agaknya inilah manifest destiny dari
bangsa ini. Dan sangat kecil, bahkan tidak ada,
kemungkinan untuk merubahnya. Ya, kesimpulan itu benar
adanya apabila kita menginginkan manusia Indonesia
berubah secara sporadis; dalam satu waktu; dengan
teriakan revolusi dan mantra Abakadabra. Namun,
harapan untuk mengupayakan perubahan akan menjadi
realistis ketika kita mengedepankan paradigma
"berproses".
Sebagai upaya yang mengutamakan tahapan situasi,
"proses" tentunya membutuhkan elemen-elemen yang
saling berinterdependensi satu dengan yang lainnya.
Dalam proses inilah terasa bagaimana peran
masing-masing individu sangat menonjol dan bersifat
deterministik. Seyogyanya, setiap kita
bertanggungjawab dalam upaya menyelamatkan bangsa ini
dari keterpurukan multidimensi yang telah lama
menjangkiti. Dan hendaknya tanggungjawab tersebut
teraktualisasi melalui upaya-upaya individu yang
didasarkan pada goodwill, bukan sekedar slogan dan
retorika belaka; bukan pula diselingi dengan
kepentingan segelintir pihak yang acapkali dibungkus
kata-kata indah tetapi pada hakikatnya semu. Tidak
masalah seberapa penting peran dan tokoh yang kita
mainkan dan seberapa besar tindakan yang kita lakukan,
jika semua itu dalam rangka pengejewantahan dari
konsensus yang telah ditetapkan bersama.
Peluang Indonesia untuk bangkit merupakan sebuah
keniscayaan yang tinggal menunggu momen. Upaya ini
tentu saja harus dimulai dari kesadaran individu yang
kemudian berimplikasi bagi bangsa ini secara
keseluruhan. Sebab, hukum Tuhan telah menetapkan bahwa
stimulus untuk melakukan perubahan harus berasal dari
subyeknya. Untuk itu, sekarang semestinya tidak
diperlukan lagi perdebatan-perdebatan yang justru
semakin membuka bidang perbedaan dalam kehidupan
berbangsa. Sebaliknya, kita dituntut untuk selalu
memaksimalkan upaya untuk memperbanyak bidang
penerimaan terhadap nilai-nilai global, dalam kerangka
untuk mengeluarkan bangsa ini dari keterpurukannya.
Dengan demikian, paradigma yang terkonsentrasi dalam
kesatuan konsep dan teraktualisasikan dalam
upaya-upaya personal, insya Allah akan dapat
diwujudkan.
Esensi
Melihat tendensi di ruang publik, perbedaan ideologi
kerap menjadi penghambat utama bagi elemen bangsa ini
untuk bersatu dan bangkit. Ia juga detonator setiap
kekacauan dan kondisi anomali. Ideology disturbance
-demikian istilah yang bisa dipakai untuk mewakili
fenomena ini- umumnya disebabkan oleh beberapa hal:
Pertama, permasalahan penerimaan subtansi ideologi.
Adakalanya ideologi tersebut diproduksi demi
kepentingan kelas penguasa dan segelintir pihak,
sehingga pihak yang lebih idealis menentangnya. Kedua,
sikap fanatisme buta dan romantisisme (taklid) dari
individu masyarakat yang mengedepankan emosionalitas
daripada rasionalitas dalam menilai baik atau buruknya
sebuah ideologi -like and dislike. Kemudian ketiga,
konsekuensi dari hal kedua, individu masyarakat yang
taklid menjadi lebih rapuh dalam hal identitas dan
mudah dihasut kelompok anti-kemapanan dan
anti-keteraturan, terlebih ketika individu masyarakat
tersebut menggabungkan diri.
Memang, bukan hal yang mudah untuk menjembatani
perbedaan ideologi. Dibutuhkan langkah persuasif untuk
membentuk pemahaman pada tataran individu masyarakat.
Sejatinya, benturan merupakan produk dari
kekurangparipurnaan dan ketidakobjektifan individu
dalam memandang sesuatu. Bukti dari justifikasi
tersebut adalah, tak sedikit diantara kita yang lebih
suka menyerca sebuah ideologi, padahal secara esensial
konsepnya dibutuhkan bagi bangsa ini. Seharusnya kita
tak lagi memakai cara klasik dalam memandang sebuah
ideologi, yang cenderung mengedepankan label daripada
esensi. Pola pikir ini nantinya akan berekses negatif
dalam mewujudkan cita-cita nasional. Karena, di saat
bangsa dan negara lain terus bergerak maju dengan
rasio, kita semakin terbelakang dengan sentimen emosi.
Yuda Indra, S. I.kom
Koordinator Kebijakan Publik Kesatuan Aksi Mahasiswa
Muslim Indonesia Daerah Riau

Tidak ada komentar:

SPIRIT DAKWAH