Sabtu, 06 September 2008

KEBANGKITAN INDIVIDUAL DAN KEBANGKITAN NASIONAL (Memperingati Hari Kebangkitan Nasional)

Gelora cinta kebangsaan bergaung di seantero tanah
air. Semua ditujukan dalam rangka memperingati 100
tahun kebangkitan nasional. Untuk itu, berbagai bentuk
seremonialpun digelar. Namun kebanyakan cenderung
berupa seremonial, tanpa menyisakan dampak
kontemplatif. Dan, tak salah kiranya jika negeri ini
dijuluki negeri kaum selebriti. Karena, mental
manusianya yang kebanyakan doyan merayakan dan
menggelar perhelatan -jenis penyakit yang mungkin bisa
disebut dengan "selebritis obsesif kompulsif". Tak
banyak pastinya manfaat yang diperoleh ketika sifat
seperti ini dipelihara. Hanya sekedar merayakan, cepat
pula melupakan.
Jika diukur dari kacamata peradaban, bangsa ini bisa
jadi sedang dan akan mengalami fase yang paling
penting dalam literasi sejarahnya -hal ini didasarkan
pada teori pegas yang mengatakan bahwa sesuatu yang
terus tertekan lambat laun akan melakukan reaksi
sebaliknya. Harapan akan adanya momen perubahan
bukanlah pepesan kosong belaka. Memang, jika melihat
pada kajian global, tak banyak yang berminat
memprediksi peran Indonesia ke depannya. Termasuk pada
karya editor Newsweek, Fareed Zakaria, yang berjudul
The Beginning of The Post-American World. Pada buku
yang hangat diperbincangkan belakangan di media massa
internasional ini, sama sekali tidak ada pembahasan
akan peran Indonesia dalam konstelasi global. Begitu
juga dalam catatan para pengamat asing, Indonesia tak
lebih dari sebuah negeri yang penuh ironi: kaya tapi
banyak rakyatnya yang miskin; kaya tapi berhutang;
banyak penduduk tapi tidak produktif dan berbagai
anomali lainnya.
Meskipun demikian, banyak hal yang luput dari tatapan
mata para pengamat dan ilmuwan. Hal ini dikarenakan
dominasi mereka yang memandang potensi progresivitas
sebuah negara dari indikator-indikator daripada pada
variabel yang berkembang. Sehingga tak heran dalam
judul buku yang telah disinggung tadi dan beberapa
buku sejenis, penulis menggunakan elemen-elemen
keunggulan fisik untuk menyimpulkan siapa pewaris
tahta pos Amerika Serikat dan negara Barat umumnya.
Flashback jauh sebelum si editor tadi bermain dengan
prediksi futuristiknya, Ibnu Khaldun, seorang sosiolog
yang berpengaruh di kalangan ilmuwan kontemporer,
telah memberi panduan bagaimana memprediksi masa depan
suatu bangsa dan peradaban. Sebagaimana ulasan seorang
akademisi berkebangsaan Eropa, George Katsiafikas,
pada karya ilmiahnya "Ibnu Khaldun: A Dialectical
Philosopher for The New Millenium". Menurutnya, Ibnu
Khaldun telah meletakkan pondasi ilmiah dalam
menentukan nasib peradaban dunia pada tempat yang
substantif dan tak terbantahkan. Berbeda dari
kebanyakan ilmuwan, Ibnu Khaldun, sebagaimana yang
telah tertuang dalam magnum opus-nya Muqaddimah,
memandang kebangkitan sebuah bangsa pada tataran
manusianya.
Kebangkitan Individu
Jika kita melihat kondisi kebanyakan manusia
Indonesia sekarang, maka tak heran sikap skeptisme
akan menjadi pilihan ketika kalimat Indonesia bangkit
digelorakan. Fenomena moral hazard yang menjamur
menyimpulkan agaknya inilah manifest destiny dari
bangsa ini. Dan sangat kecil, bahkan tidak ada,
kemungkinan untuk merubahnya. Ya, kesimpulan itu benar
adanya apabila kita menginginkan manusia Indonesia
berubah secara sporadis; dalam satu waktu; dengan
teriakan revolusi dan mantra Abakadabra. Namun,
harapan untuk mengupayakan perubahan akan menjadi
realistis ketika kita mengedepankan paradigma
"berproses".
Sebagai upaya yang mengutamakan tahapan situasi,
"proses" tentunya membutuhkan elemen-elemen yang
saling berinterdependensi satu dengan yang lainnya.
Dalam proses inilah terasa bagaimana peran
masing-masing individu sangat menonjol dan bersifat
deterministik. Seyogyanya, setiap kita
bertanggungjawab dalam upaya menyelamatkan bangsa ini
dari keterpurukan multidimensi yang telah lama
menjangkiti. Dan hendaknya tanggungjawab tersebut
teraktualisasi melalui upaya-upaya individu yang
didasarkan pada goodwill, bukan sekedar slogan dan
retorika belaka; bukan pula diselingi dengan
kepentingan segelintir pihak yang acapkali dibungkus
kata-kata indah tetapi pada hakikatnya semu. Tidak
masalah seberapa penting peran dan tokoh yang kita
mainkan dan seberapa besar tindakan yang kita lakukan,
jika semua itu dalam rangka pengejewantahan dari
konsensus yang telah ditetapkan bersama.
Peluang Indonesia untuk bangkit merupakan sebuah
keniscayaan yang tinggal menunggu momen. Upaya ini
tentu saja harus dimulai dari kesadaran individu yang
kemudian berimplikasi bagi bangsa ini secara
keseluruhan. Sebab, hukum Tuhan telah menetapkan bahwa
stimulus untuk melakukan perubahan harus berasal dari
subyeknya. Untuk itu, sekarang semestinya tidak
diperlukan lagi perdebatan-perdebatan yang justru
semakin membuka bidang perbedaan dalam kehidupan
berbangsa. Sebaliknya, kita dituntut untuk selalu
memaksimalkan upaya untuk memperbanyak bidang
penerimaan terhadap nilai-nilai global, dalam kerangka
untuk mengeluarkan bangsa ini dari keterpurukannya.
Dengan demikian, paradigma yang terkonsentrasi dalam
kesatuan konsep dan teraktualisasikan dalam
upaya-upaya personal, insya Allah akan dapat
diwujudkan.
Esensi
Melihat tendensi di ruang publik, perbedaan ideologi
kerap menjadi penghambat utama bagi elemen bangsa ini
untuk bersatu dan bangkit. Ia juga detonator setiap
kekacauan dan kondisi anomali. Ideology disturbance
-demikian istilah yang bisa dipakai untuk mewakili
fenomena ini- umumnya disebabkan oleh beberapa hal:
Pertama, permasalahan penerimaan subtansi ideologi.
Adakalanya ideologi tersebut diproduksi demi
kepentingan kelas penguasa dan segelintir pihak,
sehingga pihak yang lebih idealis menentangnya. Kedua,
sikap fanatisme buta dan romantisisme (taklid) dari
individu masyarakat yang mengedepankan emosionalitas
daripada rasionalitas dalam menilai baik atau buruknya
sebuah ideologi -like and dislike. Kemudian ketiga,
konsekuensi dari hal kedua, individu masyarakat yang
taklid menjadi lebih rapuh dalam hal identitas dan
mudah dihasut kelompok anti-kemapanan dan
anti-keteraturan, terlebih ketika individu masyarakat
tersebut menggabungkan diri.
Memang, bukan hal yang mudah untuk menjembatani
perbedaan ideologi. Dibutuhkan langkah persuasif untuk
membentuk pemahaman pada tataran individu masyarakat.
Sejatinya, benturan merupakan produk dari
kekurangparipurnaan dan ketidakobjektifan individu
dalam memandang sesuatu. Bukti dari justifikasi
tersebut adalah, tak sedikit diantara kita yang lebih
suka menyerca sebuah ideologi, padahal secara esensial
konsepnya dibutuhkan bagi bangsa ini. Seharusnya kita
tak lagi memakai cara klasik dalam memandang sebuah
ideologi, yang cenderung mengedepankan label daripada
esensi. Pola pikir ini nantinya akan berekses negatif
dalam mewujudkan cita-cita nasional. Karena, di saat
bangsa dan negara lain terus bergerak maju dengan
rasio, kita semakin terbelakang dengan sentimen emosi.
Yuda Indra, S. I.kom
Koordinator Kebijakan Publik Kesatuan Aksi Mahasiswa
Muslim Indonesia Daerah Riau

SURAT KALENG UNTUK CAGUBRI (Pelajaran dari Pilgub Jabar dan Sumut)

Euforia demokrasi telah beresonansi ke seantero tanah air. Beberapa daerah sudah menggelar perhelatan akbar tersebut. Terakhir yang mengemuka yaitu pemilihan gubernur Jawa Barat dan Sumatera Utara. Meski hasil perhitungan belum final, dari hasil quick count yang dilakukan oleh beberapa lembaga survey telah mengumumkan pasangan Cagub dan Cawagub Jabar Ahmad Heryawan-Dede Yusuf (Hade) dan Sumut Syamsul Arifin-Gatot Pujo Nugroho keluar sebagai pemenang. Akan tetapi, dalam kesempatan ini penulis tidak akan menyorot tentang perolehan angka dan kontroversi seputar pengumuman pada kedua Pilgub itu. Sebab, hal tersebut merupakan konsekuensi dan produk dari proses; hasil tahapan situasi; sebuah konsekuensi logis dari kombinasi sistematika pencapaian dengan probabilitas dalam matra geososial dan politik. Yang menurut hemat penulis, perolehan angka bukanlah referensi absolut untuk menilai sebuah kemenangan.

Lebih dari sekedar pesta demokrasi, Pilgub Jabar dan Sumut menyajikan cerita-cerita fenomenal dan penuh kejutan. Kesimpulan inilah yang juga mengemuka berbagai pihak, baik dikalangan pengamat maupun media massa. Setidaknya ada beberapa point of interest di seputar dua suksesi ini: pertama, pemeo bahwa calon incumbent mempunyai garansi untuk memenangkan sebuah pemilihan agaknya tak lagi berlaku. Kedua, mulai berubahnya pola pilihan masyarakat dalam memilih latar belakang paket calon pemimpin, dari pola yang konservatif ke pola yang lebih mengedepankan pencarian alternatif. Dan ketiga, betapa masyarakat tidak lagi tunduk pada nilai historis dan popularitas partai politik semata -plus dukungan kemapanan finansial sebagai bahan bakar mesin politik.Namun juga melihat pada siapa yang benar-benar merakyat. Indikator konkritnya dapat dilihat seberapa banyak partai bersangkutan mendayagunakan mesin sosial politiknya lewat program-program yang menyentuh lansung kondisi riil masyarakat. Bukan saat menjelang kampanye saja; pemajangan atribut-atribut imaging saat pembagian sembako gratis dan di persimpangan jalan.

Incumbent

Meski masih sementara, kekalahan yang diperoleh oleh para incumbent dan Parpol besar di Pilgub Jabar dan Sumut, seharusnya dapat dijadikan preseden di Pilgubri 2008 -sebagaimana yang telah banyak diperbincangkan di media massa, Pilbgubri 2008 kemungkinan besar akan diramaikan dengan calon incumbent. Preseden yang dapat berintrepretasi ganda: positif dan negatif. Positifnya, bagi incumbent, "kekalahan" tersebut seyogyanya dapat dijadikan rekomendasi-rekomendasi, guna merubah gaya kepemimpinan yang dianut para calon incumbent di Pilgubri 2008. Sedangkan bagi Parpol, lebih ditekankan lagi untuk dapat mengembalikan paradigma penginterpretasian fungsi Parpol ke koridornya, yang menurut akademisi dan pengamat telah jauh dari sisi idealnya -tentunya jika masih berkeinginan untuk bertarung di arena pemilihan. Sedangkan negatifnya, calon incumbent dan Parpol pendukungnya mempunyai peluang besar untuk tersingkir, terlebih ketika selama masa pemerintahan incumbent hanya menyisakan kekecewaan di lapisan akar rumput dan kesejahteraan kelompok yang mendukungnya.

Walaupun Pilgub Jabar mempunyai realita kondisi yang berbeda -dimana, masyarakat yang bermastautin di Jabar cenderung mempunyai latar belakang pendidikan yang lebih baik dibanding daerah luar- diyakini sedikit atau banyak akan menularkan difusi efek psikografis secara nasional. Konsekuensinya, ketika para calon incumbent ikut bertarung di Pilgubri 2008, sebagian besar masyarakat secara sederhana akan dapat membuat preferensi dan kemudian melakukan evaluasi dini terhadap calon yang dimaksud. Walaupun metode tersebut cenderung prematur. Namun inilah karakteristik psikologi massa, dimana generalisasi dan budaya thinking with the exclude middle factor telah mendarahdaging. Sehingga mungkin saja para calon incumbent dan Parpol pendukungnya akan mengalami tantangan besar dalam mendulang suara masyarakat Riau di Pilgubri 2008, meski jauh-jauh hari -selama masa pemerintahannya- telah menjual wajah di sana-sini dengan menggunakan berbagai perantara media.

Calon Alternatif

Masalah pola pilihan pemilih agaknya selalu menjadi pertanyaan observatif yang selalu misterius. Di kalangan para akademisi, telah bejibun banyaknya penelitian yang dilakukan untuk menguak pola pikir dan pola sikap manusia yang serba relatif, terutama terkait dengan pola pilihan terhadap calon pemimpin dan Parpol. Dan, apakah pola pilihan masyarakat ini ditentukan secara otoritatif oleh individu, kelompok atau intervensi elemen eksternal? Juga masih berujung pada teori-teori yang dangkal. Semua kalimat interogatif tadi memberikan deskripsi awal, betapa dalam politik diperlukan kecakapan yang mumpuni untuk menganalisis sisi psikografis masyarakat dan menjawab masalah mereka melalui pendekatan emosional.

Pilgub Jabar dan Sumut adalah studi kasus yang sangat tepat dalam menguraikan fenomenologi seputar geo sosial dan politik tanah air ke depannya. Siapa yang menyangka, pasangan Hade yang hanya bermodal dukungan dua partai -PKS dan PAN- berhasil mempecundangi koalisi partai-partai yang terkategori besar. Dan, yang lebih mengejutkan lagi pada Pilgub Sumut. Siapa pula yang menyangka pasangan Syamsul-Gatot mampu memutarbalikkan hasil prediksi, baik secara kuantitatif dan kualitatif, dari berbagai pengamat dan lembaga survey -beberapa pengamat dan lembaga survey mengatakan bahwa kemenangan di Jabar dipengaruhi sosok populer Dede Yusuf. Namun bagaimana dengan di Sumut? Apa kuncinya? Jawaban singkat untuk menjelaskan fenomena ini adalah bahwa semua ini tentu bukan dikarenakan efek faktor kebetulan -sebab, tak ada satupun di muka bumi ini yang diproduksi dari teorema murahan berbungkus istilah ketidaksengajaan. Artinya, ada pemanfaatan dan pengelolaan probabilitas di dua Pilgub tersebut.

Masih bersinggungan dengan persoalan analisis psikologi massa pemilih, ada satu hal pasti yang membuat lanskap pola pilihan seseorang dapat berubah seketika. Satu hal tersebut diproduksi dari, meminjam istilah dalam aliran yang berkembang di Chigago pada pertengahan periode perang dunia, "interaksionisme simbolik" (Parsons, 2004). Penjelasan dari aliran ini, menurut sosiolog Blumer, bahwasanya manusia bertindak berdasarkan hasil interaksi sosial. Berdasarkan asumsi ini, individu masyarakat berpotensi untuk merubah pilihan mereka berdasarkan variabel keadaan di sekelilingnya dan kebutuhan. Artinya, jika kepuasan masyarakat terhadap pemimpin dan mediannya memasuki fase anti klimaks, maka masyarakat dengan barometer alamiahnya akan menghasilkan sebuah rekomendasi yang revolusioner, dengan memilih alternatif sosok pemimpin lainnya. Inilah asumsi kuat untuk Pilgub Jabar dan Sumut.

Disfungsi

Sudah acapkali terdengar oleh kita, setiap pemilihan kepala daerah bahkan kepala negara, tidak lengkap tanpa ada praktik money politic. Kitsch politic, begitu istilah kerennya. Praktik yang dilegalkan dalam kamus Machievelianisme ini, merupakan bentuk manifestasi ketidakmampuan pelakunya dalam membendung reaksi di luar dirinya. Dalam konteks suksesi, praktik ini bisa jadi lahir dari impotensi mesin politik tim sukses dan atau Parpol. Khusus Parpol, sudah menjadi pemandangan umum, sebagian besar hanya memanaskan mesinnya ketika menjelang ajang pemilihan. Padahal, Parpol mempunyai fungsi yang lebih mulia daripada aktivitas murahan tersebut -dalam model piramida sosial, Parpol salah satu penghubung antara suprastruktur politik dan infrastruktur; elit dan konstituennya. Alhasil, implikasi dari fenomena ini, Parpol tak jarang hanya mementingkan kepentingan stockholder tertentu di lingkaran partai, daripada masyarakat atau konstituennya.

Disfungsi dan disorientasi para calon dan Parpol yang mendukungnya saat telah terpilih, secara bertahap akan mempengaruhi psikografi masyarakat. Untuk itu, pada Pilgubri 2008, para calon pemimpin dan Parpol diharapkan dapat menghentikan segala bentuk kampanye dan sosialisasi, yang lebih mengedepankan upaya pembodohan terselubung daripada pencerdasan masyarakat. Karena, bukan tanpa alasan, upaya yang hanya peduli pada pencitraan tanpa mau repot-repot ikut dalam upaya moral recovery bagi masyarakat, perlahan tapi pasti akan berdampak pada perubahan paradigma secara otodidak maupun lewat stimulus terhadap individu masyarakat. Pada akhirnya, masyarakat akan mencari alternatif lain yang diharapkan dapat memperjuangkan aspirasi mereka.

Yuda Indra, S. Ikom. Koordinator Dept.Kebijakan Publik Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia Daerah Riau

Dimuat di Riau Pos edisi 30 April 2008

PREDIKSI DELEGITIMASI PILGUBRI (dimuat di Riau Pos Edisi 14/8/2008)

Pelaksanaan Pemilihan gubernur Riau (Pilgubri) tak berapa lama lagi. Jika tak ada aral yang menghadang, sedianya sesuai jadwal yang telah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Riau, hari H (pemungutan suara) akan dilaksanakan pada 22 September. Namun, hingga saat ini, penulis merasa masih ada sesuatu hal yang mengganjal proses Pilgub ini. Terutama terkait proses mewujudkan nilai ideal berupa dukungan maksimal dari masyarakat Riau. Konkritnya, ini mengarah kepada seberapa besar partisipasi masyarakat dalam memilih pemimpin mereka ke depannya.

Menurut khazanah demokrasi, masyarakat adalah subjek. Sebagaimana Aristoteles pernah menyinggung pada karya magnum opus-nya La Politic, masyarakat dalam konteks demokrasi dapat diumpamakan seperti seorang pembuat seruling. Sedangkan pemerintah dan pemimpin mereka hanyalah peniup seruling. Sehingga, wajar jika kita sering mendapati slogan ditujukan dari, untuk dan oleh rakyat (Aristoteles, 2006). Konsekuensinya dari ide dan gagasan ini tentunya berlaku pada pembukaan akses sebesar-besarnya bagi masyarakat dalam memilih siapa pemimpinnya. Namun, ketika kita mengarahkan pandangan pada kontes kekinian, demokrasi tak lebih dari sekedar eufimisme yang sering latah diucapkan para politisi tak bermoral. Tujuannya, tentu saja demi menggapai tujuan pribadi.

Kembali ke pokok persoalan, jika kita melihat persiapan dari Pilgubri itu sendiri, ada sesuatu yang pantas untuk dikhawatirkan. Ini dikarenakan kuatnya sinyalemen probabilitas akan semakin rendah partisipasi masyarakat untuk memberikan suaranya. Melihat dari data yang dimiliki KPU Riau, berdasarkan Data Pemilih Tetap (DPT) yang telah ditetapkan, jumlah pemilih yang terdaftar adalah sebanyak 3,219,478 pemilih –data ini masih belum final, dikarenakan belum adanya keputusan soal sengketa di lima desa yang melibatkan Kabupaten Rokan Hulu dan Kabupaten Kampar. Jumlah ini berkurang jika dibandingkan dengan data di KPUD untuk tahun 2007, dengan jumlah pemilih yang terdaftar adalah sebanyak 4,525,391 pemilih. Secara eksplisit ada selisih jumlah yang cukup signifikan dengan pemilih untuk Pilgubri 2008, dimana terdapat 1,319,542 pemilih. Apakah selisih ini di dalamnya pemilih yang tak mendapatkan lagi haknya karena beberapa sebab: meninggal dunia, pindah atau lain-lainnya,wallahualam. Terlepas dari itu semua, ini sebuah selisih jumlah yang jauh dari harapan untuk Pilgubri 2008 yakni berupa peningkatan jumlah pemilih. Terlebih apabila didasarkan pada jumlah masyarakat Riau sendiri berdasarkan data penduduk saat ini berjumlah 4,792,520 jiwa.

Rendahnya tingkat partisipasi masyarakat dalam memilih di Pilgubri nantinya, secara langsung akan mempengaruhi dukungan terhadap pemimpin Riau ke depannya. Adapun yang berpotensi untuk dipersalahkan ketika partisipasi tersebut rendah, tentu saja perangkat-perangkat baik dalam penyelenggaran Pilgubri itu sendiri maupun yang turut serta. Seyogyanya, setiap pribadi masyarakat yang sudah memenuhi kriteria untuk memilih memperoleh haknya sebagaimana mestinya. Namun keseringan yang terjadi sekarang, akses untuk memperoleh itu cenderung dihalang-halangi dengan berbagai dalih administratif yang tampak dibuat-buat oleh pihak-pihak terkait. Bahkan salah satu kasus, di daerah penulis menetap, pernah salah seorang ketua RT tidak memberikan kartu pemilih dengan alasan yang tak masuk akal. Padahal, secara administratif dan kriteria sudah dipenuhi semua.

Politisasi Suara Rakyat

Hal yang tak termaafkan lainnya yang kerap kali mewarnai proses demokrasi, adalah politisasi suara rakyat. Tak terkecuali dalam penyelenggaraan Pilgubri kali ini. Salah satu contoh terdekat dan riil adalah pada kasus sengketa di 5 desa (Desa Intan Jaya, Muara Intan, Rimba Makmur, Rimba Jaya dan Tanah Datar) yang melibatkan dua kabupaten yang saling berbatasan yakni Rohul dan Kampar yang hingga saat ini masih konfrontasi. Lebih dari persoalan laten, yakni perbatasan –sebagaimana yang ramai dipeributkan- sengketa di 5 desa mempunyai vested interest lain. Malah gamblang, bahwa sengketa ini lebih pada sengketa antara elit Pemerintah daerah daripada masyarakatnya. Buktinya, dari hasil laporan tim bentukan KPU Riau yang diterjunkan untuk meneliti secara langsung di 5 desa pada 11-16 Juli 2008, diperoleh temuan bahwasanya sebagian besar masyarakat tak mempersoalkan kabupaten mana yang akan ditunjuk.

Dengan begitu, tak heran mengapa perdebatan soal sengketa ini menjadi hangat kembali belakangan dan menjelang Pilgubri ini. Asumsinya hanya satu, persoalan siapa yang punya kepentingan. Relevansinya dengan Pilgub, berdasarkan informasi yang diperoleh baik dari rekan pers dan masyarakat tempatan, jelas ini terkait dengan perolehan suara pemilih atau masyarakat nantinya. Dalam perkembangan terkini terkait penyelesaian sengketa 5 desa ini belum menunjukkan arah penyelesaian yang jelas. Masing-masing pihak keukeuh dengan solusinya. Dari sekian banyak solusi yang ditawarkan, yang tampak baru sekumpulan kamuflase politik semata.

Delegitimasi

Sejauhmana relevansi jumlah dukungan masyarakat terhadap legitimasi si pemimpin dalam proses demokrasi, yang salah satunya pada pemilihan kepala dan wakil kepala daerah? Menurut hemat penulis tentu sangat berelevansi. Soal sejauhmana, hal ini dapat dilihat pada keterdukungan masyarakat saat Gubernur terpilih menjalankan amanahnya. Semakin banyak masyarakat yang menyerahkan suaranya terhadap pemimpinnya, maka aksiomatis dapat dikatakan si pemimpin mempunyai nilai potensial untuk lebih dapat meyakinkan pemilihnya berupa komitmen program-program kerjanya direalisasikan. Begitu juga, logika sama yang sama berlaku ketika pemilih salah seorang calon sedikit.

Bersinergi dengan pandangan di atas, ilmuwan sosial barat Wayne Parsons Pada bukunya yang berjudul Public Policy, telah menjabarkan bahwa ketika sebuah sistem tidak didukung dari lingkungan primernya (intra societal environment) maka berkemungkinan besar sistem tersebut akan terganggu hingga pada level dimana posisinya bahkan bisa stagnasi (Parsons, 2004). Dengan demikian, sekali lagi, faktor rendah atau tingginya partisipasi masyarakat akan mempengaruhi jalannya sebuah pemerintahan yang lahir dari proses Pilgub ini nantinya. Dan, tidak hanya terhadap pemimpin dan pemerintahan yang terpilih saja akan mengalami delegitimasi, namun sebelum itu, juga pada Pilgubri ini.

Yuda Indra, S.I.Kom, Kepala Departemen Kebijakan Publik, Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Daerah Riau


Minggu, 31 Agustus 2008

Bismillah


Ramadhan....
ini adalah bulan penuh rahmat,,,,
tiada kata terbaik yang dapat kita ucapkan selain dzikir kepada Allah SWT
harapan kita jelas, menjadi orang yang bertaqwa....
disini ada muatan muroqobatullah, muahadah, mujahadah,,,
hati yang kering harus segera dibasahi dengan kembali ke jalanNya..
tiada kebanggaan, kemuliaan, kehormatan bagi seorang muslim ketika di tidak lagi di Jalan Allah SWT,,,,
MARI SALING MENDO'AKAN, berbagi dalam kebaikan, semoga Ramadhan ini lebih baik dari sebelumnya...

SPIRIT DAKWAH